Selain Dikorupsi, Bansos Juga Dipolitisasi

Petugas PPSU dibantu warga menurunkan paket Bantuan Sosial Tahap 5 di rumah ketua RW 08, Kelurahan Gedong, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur, Minggu (2/8/2020). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkolaborasi dengan Kementerian Sosial RI menyalurkan bantuan sosial (Bansos) Tahap 5 mulai 22 Juli sampai 6 Agustus ke rumah-rumah dari 2,4 juta keluarga miskin dan rentan terdampak Covid-19, baik yang ber-KTP DKI maupun ber-KTP non-DKI yang bermukim di Jakarta. SP/Joanito De Saojoao.

Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menguak dugaan korupsi penyaluran bantuan sosial (bansos) yang terjadi di Kementerian Sosial (Kemsos). Akibat kasus tersebut, KPK pun telah menetapkan Menteri Sosial (Mensos) sebagai tersangka dan langsung ditahan.

Direktur Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam menilai, korupsi bansos yang terjadi di Kemsos lain-lagi memberikan peringatan keras bahwa masih ada banyak pos di kementerian yang dijadikan bancakan korupsi oleh pejabatnya.

Menurut Roy, korupsi yang terjadi di Kemsos tidak begitu mengejutkan lantaran selama ini di kementerian tersebut kurang menerapkan keterbukaan dan transparansi terkait penggunaan dana bantuan sosial.

“Keterbukaan Kemensos mengelola anggaran dan pengadaan bansos Covid-19 sangat rendah. Data anggaran dan realisasi tidak tersedia baik real time ataupun Kementerian Sosial mengelola anggaran sangat tertutup,” kata Roy, dalam diskusi “Korupsi Dana Covid-19” yang digagas IBC dan Tepi Indonesia, di Jakarta, Jumat (11/12/2020).

Dibeberkan Roy, dalam penelusuran IBC atas website Kemsos, sejauh ini tidak menemukan data dan informasi
anggaran tahun 2020 yang dipublikasi Kemsos. Termasuk anggaran khusus penanganan Covid-19 baik umum maupun rinci.

“Kemsos juga tidak mempublikasi data pengadaan sembako sehingga publik tidak mendapat informasi siapa saja rekanan Kemsos yang menjadi vendor atau pemasok dalam penyediaan paket sembako,” ujarnya.

Padahal, di kementerian tersebut mengelola anggaran yang cukup besar dan bertujuan membantu masyarakat keluar dari kesulitan sebagai akibat adanya pandemi Covid-19. Catatan IBC menunjukkan, dalam Rangka Penanganan Covid-19, Kemensos memperoleh tambahan Anggaran sebesar 114 persen menjadi Rp 134,01 Triliun.

Tambahan anggaran Kemensos tersebut berasal dari realokasi/pergeseran anggaran belanja untuk tambahan
cakupan sasaran program perlindungan sosial reguler seperti PKH dan Kartu Sembako/BPNT, serta untuk Bantuan Presiden khusus Covid-19 dalam skema Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dari total anggaran Kemsos paling besar untuk Ditjen PFM (60,82%), Ditjen PJS (34,23%) dan Ditjen PS,3,65%.

Menurutnya, anggaran PEN untuk perlindungan sosial telah ditetapkan sebesar Rp 233,69 triliun yang mencakup 34% dari keseluruhan anggaran PEN 2020 sebesar Rp 695,2 triliun. Dari total anggaran perlindungan sosial tersebut, sekitar 55% dikontribusikan dari program PEN Kemsos sebesar Rp 127,93 triliun.

“Bansos sembako Jabodetabek merupakan salah satu program bansos PEN yang dikelola Kemensos dengan realisasi 94,64%.Total paket banso sembako mencapai 22,8 juta paket untuk wilayah Jabodetabek,” jelas Roy.

Dari pengungkapan yang dilakukan KPK yang menyebutkan ada fee berpaket sembako sebesar Rp10 ribu, maka ada potensi kerugian negara dalam pengadaan bansos sembako Senilai Rp 228 miliar atau 3,3 persen dari anggaran sebesar Rp6,80 Triliun.

“Terkait kasus bansos sembako yang sedang ditangani, KPK perlu mendalami potensi kerugian negara dari seluruh pengadaan bansos sembako sejak April sampai Desember 2020 menelisik seluruh aliran dana korupsi bansos,” kata Roy.

Menurutnya, meskipun telah ada pendampingan KPK, LKPP, dan Kejaksaaan kepada Kemsos, tetapi korupsi masih terjadi. Hal yang sama kemungkinan terjadi pada kementerian lain yang mengelola anggaran Covid-19 termasuk di tingkat daerah hingga Desa.

“Belajar dari Korupsi Kemsos, BPK perlu melakukan audit dengan tujuan tertentu atas pelaksanaan anggaran penanganan Covid-19 di tingkat pusat termasuk di daerah,” ujarnya.

Direktur Nara Integrita, Ibrahim Fahmy Badoh, menjelaskan, korupsi bansos sesungguhnya telah lama terjadi dan terus berulang. Bahkan, dana bansos selama ini memang dijadikan “ATM” oleh pihak-pihak tidak bertangung jawab hingga ke daerah.

“Bansos korupsinya sudah terjadi sejak lama dan selalu terulang. Dana bansos juga lama digunakan untuk pemenangan pemilihan calon-calon incumbent. Harus dibuat skema pencegahan agar dana bansos tidak digunakan,” kata Ibrahim Fahmy.

Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Ray Rangkuti, program bansos selain sudah disalahgunakan, juga sudah dipolitisasi sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu. Dirinya mencontohkan, selama proses Pilkada 2020, dana bansos juga disinyalir digunakan untuk memenangkan calon-calon incumbent.

“Tingginya kemenangan calon incumbent di pilkada 2020 kemungkinan berhubungan dengan tingginya intensitas pemberian bansos kepada masyarakat di daerah,” kata Ray.

Menurutnya, selain pesta para petahana, Pilkada 2020 juga telah menjadi pesta para pelaku dinasti politik. Di daerah, sekalipun bansosnya berasal dari pusat, tapi masyarakat tetap menilainya pemberian kepala daerah.

Sumber:BeritaSatu.com