Pascabanjir Jakarta, penanganan dan mitigasinya menjadi sorotan, termasuk di kalangan DPRD DKI Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diminta membereskan dan mengevaluasi seluruh program pembangunan sarana fisik yang dijalankan, sebelum pembahasan anggaran bisa dimulai.
Hari Rabu (24/2/2021), Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza “Ariza” Patria mengatakan bahwa pemprov akan meneruskan program pembangunan sumur resapan sebagai salah satu upaya mencegah banjir. Tahun ini, rencananya dibangun 3.964 sumur resapan dan target tahun 2022 akan ada 1,8 juta sumur resapan di Ibu Kota dengan nilai anggaran Rp 300 miliar.
Senin lalu, Wakil Wali Kota Jakarta Utara Juaini Jusuf yang saat itu masih menjabat Kepala Dinas Sumber Daya Air mengatakan, lokasi pembangunan sumur resapan ada di tanah–tanah aset pemerintah, seperti sekolah negeri, puskesmas, kantor kecamatan, dan kantor kelurahan. Di titik dengan sumur resapan seperti di kantor Kecamatan Jatinegara, genangan air saat hujan sudah tidak ada.
Ketua Komisi D DPRD Ida Mutmainah mengungkapkan, hasil rapat komisi dengan Dinas SDA maupun Dinas Bina Marga menemukan sejauh ini ada 12.000–15.000 sumur resapan di Jakarta. “Masalahnya, tidak seorang pun bisa memberi kami data lokasi persis sumur–sumur itu beserta alasan sumur harus dibuat di sana,” ujarnya.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menyebut, target 1,8 juta sumur resapan itu tidak masuk akal. Jakarta memiliki 30.470 rukun tetangga (RT). Artinya, setiap RT harus memiliki 59–60 sumur resapan. Faktanya terdapat banyak RT di permukiman padat dan tidak memiliki lahan lebih. Apabila sumur resapan dibangun di wilayah yang masih memiliki lahan kosong, nanti akan ada daerah yang kelebihan sumur.
“Sebelum kita membicarakan soal anggaran, tunjukkan dulu kajian bahwa sumur resapan memang secara teknis manjur mengatasi banjir. Tunjukkan laporan rinci sumur–sumur yang ada bekerja memenuhi target. Jika laporan evaluasi menunjukkan sebaliknya, lebih baik alokasi anggaran dan programnya ditinjau kembali,” tuturnya.
Anggota Komisi D dari Partai Solidaritas Indonesia, Justin Adrian Untayana menilai, pemprov memaksa solusi banjir dengan menyerap air, bukan mengalirkan air. Kondisi tanah di Ibu Kota telah jenuh oleh bangunan dan terdapat pula dataran rendah yang tidak akan bisa dibangun resapan karena permukaan air lebih tinggi.
Pelebaran sungai dan saluran air yang merupakan pendekatan teknis paling masuk akal seolah tidak dijadikan prioritas. Ia menengarai Pemprov Jakarta khawatir terjadi konflik dengan warga bila harus ada relokasi.
“Di saat yang sama ada 5.000 unit kamar rumah susun yang kosong. Mau diisi sama siapa? Apakah tidak bisa program rusun dikoordinasikan dengan pembebasan bantaran sungai agar warga bisa mendapat ganti untung?” ujarnya.
Manusiawi
Justin menuturkan, membiarkan warga tinggal di bantaran kali dengan kondisi yang kotor serta selalu banjir justru tindakan tidak manusiawi. Lingkungan tersebut tidak aman dan tidak sehat bagi manusia, apalagi untuk tumbuh kembang anak. Kewajiban pemerintah menyediakan hunian layak bagi warga yang tidak mampu disertai berbagai program pemberdayaan masyarakat.
Program pemprov saat ini adalah agar air surut dalam kurun enam jam sejak genangan terjadi. Ia berpendapat tindakan ini tidak mencegah terjadinya genangan, tetapi meminta masyarakat beradaptasi dengan genangan. Setiap tahun hal yang sama terjadi dengan kerugian materiil dan kelelahan mental.
“Kondisi ini juga bukan kondisi kerja yang sehat bagi para petugas Dinas SDA maupun pasukan oranye. Setiap tahun berjibaku menghadapi banjir saja sudah berbahaya, apalagi di masa pandemi yang kita tidak tahu kapan akan berakhir,” ucapnya.
Itu sejalan dengan data Dinas SDA yang menyebutkan bahwa baru 64 persen warga Jakarta memiliki tangki septik, itupun jarang dan bahkan ada yang tidak pernah disedot. Artinya, limbah kotoran manusia merembes ke tanah. Di wilayah bantaran, umumnya limbah tersebut dialirkan ke sungai, tetapi warga mandi, minum, dan mencuci pakaian menggunakan air tanah yang tercemar bakteri, salah satunya Escherichia coli.