KPK Cium Indikasi ‘Permainan’ DPRD DKI yang Tak Pernah Kuorum Bahas Raperda Reklamasi

KPK Cium Indikasi 'Permainan' DPRD DKI yang Tak Pernah Kuorum Bahas Raperda Reklamasi

Jakarta – Pembahasan dua rancangan peraturan daerah (raperda) terkait reklamasi tidak pernah mencapai kuorum di DPRD DKI. KPK pun mengendus indikasi adanya ‘permainan’ di balik hal tersebut dengan kasus suap yang kini tengah ditangani.

“Kalau bahasa hukumnya, patut diduga (ada ‘permainan’),” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat dihubungi, Rabu (13/4/2016).

Kecurigaan KPK pun berujung dengan pemanggilan sejumlah anggota DPRD DKI. Pada Senin lalu, 7 anggota dewan dengan berbagai jabatan diperiksa yaitu Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi, Ketua Badan Legislasi DPRD DKI M Taufik, Wakil Ketua DPRD DKI Ferrial Sofyan, Wakil Ketua Badan Legislasi DPRD DKI Merry Hotma, Kasubbag Rancangan Perda DPRD DKI Dameria Hutagalung, anggota Badan Legislasi DPRD DKI M Sangaji dan anggota DPRD DKI S Nurdin.

Tentang sejumlah nama yang dimintai keterangannya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwarta pernah menyebut bahwa penyidik telah mengantonginya. Nama-nama itu bakal dicecar penyidik tentang pengetahuannya tentang kasus tersebut.

“Dari hasil pendalaman, penyidik mendapatkan nama-nama, itu kemudian berkembang penyidikan untuk dikonfirmasi. Pokoknya penyidik akan mengonfirmasi, mengklarifikasi orang-orang yang mengetahui atau terlibat di kasus ini,” ucap Alexander saat dihubungi pada 7 April 2016.

Kecurigaan KPK memang beralasan. Dua raperda tentang reklamasi itu telah diserahkan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok) ke DPRD DKI pada 23 April 2015 silam. Saat itu, namanya adalah Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Tahun 2015-2035. Setahun berselang, raperda tak juga disahkan.

Pembahasan soal raperda ini tidak pernah terdengar hingga pengujung tahun 2015. DPRD DKI lalu memasukkan raperda ini menjadi 1 dari 23 target legislasi dewan di 2016.

Perkara tak bisa disahkannya raperda ini karena sidang di DPRD DKI yang tak pernah kuorum. Berkali-kali rapat membahas raperda terkait reklamasi hanya dihadiri tak lebih dari 50 anggota DPRD sehingga pembahasan urung dilanjutkan.

Paripurna pembahasan Raperda Zonasi ini dijadwalkan pada 22 Februari 2016. Agendanya adalah penyampaian laporan hasil pembahasan Balegda DKI terhadap Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dilanjutkan dengan Permintaan Persetujuan Lisan kepada Anggota DPRD oleh Pimpinan, dan Pendapat Akhir Gubernur terhadap Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dipungkasi dengan penyerahan simbolis raperda dari DPRD ke Gubernur.

Ahok yang sudah hadir di Gedung DPRD DKI dibuat 2 jam menunggu. Namun, ternyata anggota DPRD yang menandatangani absensi hanya 50 orang dari total 106 anggota. Karena tidak kuorum, akhirnya paripurna ditunda.

Jadwal paripurna kembali tidak jelas karena pada Selasa (1/3), DPRD DKI hanya mengadakan rapat Badan Musyawarah (Bamus). Keputusannya, paripurna kembali ditunda karena ada dua pasal di Raperda Zonasi yang masih dipersoalkan.

Hingga akhirnya pada Kamis (17/3), DPRD DKI kembali menjadwalkan paripurna untuk membahas Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta ini. Tetapi, lagi-lagi ditunda karena anggota dewan bolos.

Wakil Ketua DPRD DKI Triwisaksana saat itu mengatakan hanya 50 orang yang hadir dalam rapat paripurna. Memang bila dilihat, banyak kursi kosong di ruangan. Padahal kuorum agar rapat paripurna pengesahan peraturan daerah bisa terlaksana minimal harus dihadiri 71 anggota dari 106 anggota.

Dia menjelaskan, Raperda Zonasi ini merupakan syarat pelaksanaan reklamasi. Bila raperda ini belum disahkan, maka reklamasi belum bisa dijalankan. “Kalau sisi perundang-undangan, ini wilayah zonasi memang menjadi syarat bagi pengaturan tata ruang reklamasi,” kata Sani.

Tak kunjung kuorum, akhirnya DPRD DKI malah memutuskan untuk menunda pembahasan raperda terkait reklamasi ini. Kejelasan proyek reklamasi Teluk Jakarta pun menggantung hingga akan dibahas para anggota DPRD DKI periode berikutnya.

Pembahasan raperda terkait reklamasi yang tak kunjung selesai malah berujung ke kasus korupsi. Ketua Komisi D DPRD DKI, M Sanusi tertangkap tangan telah menerima suap dari PT Agung Podomoro Land. Uang sebesar Rp 2 miliar diberikan terkait pembahasan raperda reklamasi.

Informasi yang didapat dari seorang pejabat tinggi di KPK, sebenarnya suap kepada anggota DPRD DKI diberikan dengan motif yang sangat sederhana yakni agar sidang pembahasan raperda tak kunjung kuorum.

Sebabnya, ada perbedaan mendasar antara Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD terkait jumlah kewajiban yang harus dibayarkan pengembang. Ahok ingin para pengembang menyetor kewajiban 15% dari nilai NJOP, sedangkan DPRD hanya menyetujui agar pengembang menyetor 5% saja.

Sementara itu, di tengah pembahasan yang tak kunjung kuorum, sudah ada pengembang yang melakukan reklamasi. Bahkan sudah menawarkan produk propertinya di lahan reklamasi kepada konsumen. Sekali lagi, raperda terkait tata ruang di pulau reklamasi belum disahkan, namun sang pengembang sudah memiliki maket bahkan gambaran riil pulau reklamasi yang propertinya sudah diperdagangkan.

Ketika sang pengembang sudah berhasil membangun pulau reklamasi sesuai keinginannya, maka Pemprov DKI tidak memiliki ruang untuk mengubah tata ruang di pulau reklamasi. Diduga, hal inilah yang melatarbelakangi tindakan suap.
(dha/dra)

http://news.detik.com/berita/3186566/kpk-cium-indikasi-permainan-dprd-dki-yang-tak-pernah-kuorum-bahas-raperda-reklamasi