Rabu, 10 Maret 2021 | 11:15 WIB
Oleh : Yudo Dahono / YUD
Jakarta, Beritasatu.com – Guna mencegah potensi terjadinya tindak pidana korupsi di Pemerintah daerah Kabupaten Maluku tenggara (Pemkab Malra), Koordinator Koalisi Anti Korupsi Indonesia Timur Antonius Rahabav akhirnya mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna memberikan dokumen-dokumen terkait potensi korupsi di Maira, Selasa (9/3/2021).
“Saya menduga potensi korupsi di Pemkab Malra bermula dari adanya defisit APBD tahun 2021 sebesar hampir Rp 90 miliar. Hal ini jelas bertentangan dengan amanat UU RI No 32/2004 yang diperbaharui lagi dengan UU RI No. 23/2014 mengenai pemerintah daerah yang mengamanatkan bahwa defisit APBD tidak boleh melampaui 3% dari PDRB atau Produk Domestik Regional Bruto,” papar Antonius di Gedung KPK.
“Bayangkan dengan PDRB Pemkab Malra tahun 2020 hanya sebesar Rp 170 miliar, berdasarkan amanat UU hanya membolehkan defisit tidak melebihi 3%, maka sebenarnya angka defisit tertinggi hanya boleh di angka Rp 5,1 miliar. Jika ini yang terjadi maka konsekuensinya Dana Alokasi Umum (DAU) Maluku Tenggara akan terpotong secara otomatis dari pemerintah pusat. Secara nasional maka sesungguhnya rakyat Maluku Tenggara dirugikan dan tidak akan mencukupi untuk penyetoran kembali pinjaman dimaksud,” ungkap Antonius Rahabav lagi.
Di saat yang bersamaan, lebih parahnya lagi ungkap Antonius, pada saat Pemkab Malra mengalami defisit sebesar Rp 90 miliar, Pemkab Malra juga mengajukan pinjaman sebesar Rp 250 miliar kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) selaku BUMN negara sebagai dana untuk percepatan infrastruktur di daerah-daerah.
“Bagi saya dan tentunya koalisi anti korupsi Indonesia Timur, proyek infrastruktur yang diajukan oleh Pemkab Malra tidak memiliki azas manfaat mengingat PT SMI mensyaratkan proyek dimaksud dapat memberikan kontribusi yang nyata untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di tengah pandemi Covid-19 di mana daya beli masyarakat tengah menurun,” ujarnya.
Dengan masa jabatan Bupati Maluku tenggara yang tersisa 2 tahun lagi, Antonius Marhabav berpendapat proyek-proyek infrastruktur yang akan dibangun untuk meningkatkan PAD Pemkab Malra sesuai keinginan pemberi modal dalam hal ini PT SMI, maka akan terjadi konflik kepentingan jika dilanjutkan oleh bupati terpilih selanjutnya.
“Peristiwa pidana mungkin saja terjadi pada bupati diperiode berikutnya. Bupati yang baru bisa jadi akan meminta audit pada bupati sebelumnya dengan tujuan tertentu dan nantinya akan sulit dipertanggungjawabkan,” tutur Antonius.
Di Provinsi Maluku Kota Ambon, Antonius memberi contoh, cukup banyak proyek infrastruktur yang terbengkalai dan tak kunjung selesai dengan dana pinjaman dari PT SMI.
Adapun hal-hal lainnya yang menjadi pertimbangan Koalisi anti korupsi Indonesia timur bahwa Pemkab Malra belum layak memperoleh pinjaman sebesar Rp 150 miliar (Sesuai persetujuan Kementerian Dalam Negeri) dari SMI diantaranya adalah kemampuan keuangan daerah dari sektor APBD diprediksi dua tahun ke depan tidak akan sesuai target Pemkab Malra mengingat pendapatan perkapita masyarakat Maluku tenggara sesuai data bank dunia masih kecil yakni sebesar Rp 700/hari.
Selain itu dokumen pengajuan dari Pemkab Malra tidak memenuhi standar PT SMI berupa laporan keuangan Pemda 3 tahun terakhir yang telah diaudit BPK RI untuk 3 tahun anggaran yang minimal Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Hal ini menjadi pertimbangan PT SMI bahwa Bupati Maluku Tenggara baru menjalani 2 tahun LKPD dan baru satu LKPD yang WDP dan satu LKPD tahun tahun 2020 sementara dan sedang diaudit BPK RI untuk studi kelayakan.
Dengan adanya potensi korupsi di Pemkab Malra, koalisi anti korupsi Indonesia timur jelas Antonius Rahabav menduga ada kepentingan kelompok tertentu dalam mengejar fee dan kepentingan pribadi. Untuk itu Antonius Rahabav meminta agar PT SMI menghentikan proses pinjaman kepada Pemkab Malra dan melakukan pengkajian yang mendalam serta meminta masukan dari masyarakat di Kabupaten Maluku Tenggara guna menghindari peristiwa tindak pidana korupsi di kemudian hari.
Sumber: BeritaSatu.com