www.detik.com, Kamis, 25 Agustus 2022
Detik2
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan secara resmi mengganti nama 31 rumah sakit umum daerah (RSUD) di Jakarta menjadi Rumah Sehat Untuk Jakarta. Logo RSUD pun diubah dan diseragamkan. Aksi penjenamaan atau rebranding ini mengundang kontroversi. Sebagian menanggapinya positif, sebagian lagi tidak setuju. Merebak pertanyaan, apakah tepat mengganti istilah rumah sakit menjadi rumah sehat?
Rumah Sakit vs Hospital
Istilah rumah sakit diadopsi dari bahasa Belanda ziekenhuis. Zieken artinya sick (sakit) dan huis artinya house (rumah). Jadilah ziekenhuis diterjemahkan sebagai rumah sakit. Jerman juga menggunakan istilah serupa, yaitu krankehouse. Kranke artinya sakit dan house berarti rumah; gabungannya menjadi rumah sakit. Jadi, istilah rumah sakit klop dengan terminologi bahasa Belanda dan Jerman.
Berbeda dengan Belanda dan Jerman, negara-negara lain tidak menggunakan istilah rumah sakit. Inggris, Amerika, dan Prancis misalnya, menggunakan istilah hospital. Kata hospital berasal dari bahasa Latin hospes, artinya seseorang yang menjamu atau melayani orang lain. Bisa juga dari hospitale yang berarti tempat bagi tamu. Dibanding rumah sakit, istilah hospital lebih bernuansa optimis dan menawarkan aura positif.
Pada awalnya, rumah sakit hanya berperan sebagai tempat penampungan orang-orang miskin, usia lanjut, dan menderita. Bersamaan dengan perkembangan ilmu kedokteran dan kesehatan, rumah sakit mulai digunakan untuk mengobati orang sakit (kuratif). Layanan kuratif ini terus berkembang pesat sejalan masifnya temuan-temuan bidang medis. Rumah sakit pun semakin identik sebagai sarana terapeutik dan rehabilitatif.
Sayangnya, aspek peningkatan derajat kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif) tidak mendapat tempat proporsional di rumah sakit. Padahal kedua aspek ini tidak kalah penting dengan aspek kuratif dan rehabilitatif. Ketimpangan ini terus berlangsung hingga kini.
Perubahan Peran
Para ahli berargumen bahwa ke depan akan terjadi banyak perubahan paradigma terkait rumah sakit. Di antaranya adalah reorientasi layanan kesehatan dan fenomena patient-centric. Layanan rumah sakit akan bergeser dari therapeutic-minded ke health-minded.
Pasien datang ke rumah sakit bukan hanya untuk mencari pengobatan, tetapi untuk memperoleh derajat kesehatan optimal. Layanan yang mereka butuhkan bukan hanya obat-obatan atau operasi, tetapi juga layanan penurunan berat badan, pencegahan penyakit, pengaturan gizi seimbang serta skrining kesehatan.
Untuk mengantisipasi hal ini, rumah sakit perlu menyediakan layanan lebih komprehensif, termasuk layanan promotif dan preventif.
Pasien juga akan memiliki ekspektasi lebih besar terhadap rumah sakit. Saat mendatangi rumah sakit, mereka ingin memperoleh informasi akurat kesehatannya, mendapat pelayanan berbasis bukti serta keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Pasien juga ingin menerima good customer-services; dilayani dengan sopan, ramah, dan profesional. Layanan kesehatan menjadi semakin patient-centric.
Mengantisipasi berbagai perubahan paradigma, rumah sakit perlu mempersiapkan langkah-langkah strategis. Salah satunya adalah melakukan rebranding. Rebranding bukan hanya perubahan nama, logo, atau slogan. Dalam rebranding terkandung komitmen perubahan dan perbaikan berbagai aspek, termasuk moral dan kualitas pelayanan. Dengan rebranding, rumah sakit memperkenalkan perubahan identitas, komitmen, dan kualitas layanan mereka.
Di bidang kesehatan, banyak korporasi yang telah melakukan rebranding. Misalnya, Hospital Corporation of America, yaitu sebuah jaringan kesehatan dengan 186 rumah sakit, telah mengubah namanya menjadi Healthcare.
Rumah Sehat
Sejumlah alasan mendasari rebranding rumah sehat. Pertama, ada stigma bahwa rumah sakit hanyalah tempat bagi orang sakit. Orang sehat tidak perlu mengunjunginya. Ini membuat utilisasi rumah sakit menjadi parsial. Padahal orang sehat juga butuh pelayanan kesehatan agar status sehatnya terjaga.
Penggantian nama rumah sakit dapat mengoreksi stigma. Dengan istilah rumah sehat, semua masyarakat, baik yang sakit maupun sehat, diberi kesempatan memanfaatkan rumah sakit. Istilah ini juga bisa menginduksi efek psikologis positif. Saat mendatangi sarana ini, masyarakat merasa memasuki tempat yang akan membantu mereka menjadi sehat paripurna.
Kedua, Anies ingin mengoptimalkan layanan promotif dan preventif dan menjadikan rumah sakit menjadi pusat kesehatan komprehensif. Sebenarnya, layanan promotif dan preventif ini sudah dipraktikkan diberbagai rumah sakit sejak lama, cuma porsinya sangat minim. Padahal peran dan urgensi layanan promotif dan preventif tidak lebih inferior dibanding layanan kuratif dan rehabilitatif. Derajat kesehatan maksimal tidak tercapai tanpa kedua layanan ini.
Di luar negeri saat ini bahkan berkembang konsep holistic hospital, yaitu rumah sakit menyediakan bukan hanya layanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, tetapi juga complementary and alternative therapy serta dukungan spiritual atau keagamaan.
Alasan rebranding Anies cukup rasional. Namun perlu dipahami bahwa rebranding tidak bisa berhenti pada penggantian nama, logo, atau slogan saja. Rebranding mesti meliputi upaya penggerakan semua elemen untuk melakukan pembaruan dan perbaikan pelayanan. Rebranding tidak akan menghasilkan apa-apa bila yang dilakukan hanya perubahan identitas tanpa upaya sistematis merubah kultur pelayanan.
Setuju atau tidak, Anies telah melakukan rebranding. Sisa menunggu hasilnya. Bila hasilnya ternyata tidak bermanfaat, perlu dilakukan review dan revisi. Bila hasilnya baik, rebranding ini bisa diterapkan pada semua rumah sakit di Indonesia. Artinya, istilah rumah sakit ramai-ramai diganti menjadi rumah sehat. Ini tentu tidak mudah karena terkait proses administrasi kompleks, legislasi rumit, serta perubahan kultur masyarakat.
Juga, membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tetapi untuk perubahan ke arah yang lebih baik, semua hambatan tentu bisa dicari jalan keluarnya. Bila negara ini berani memindahkan ibu kotanya dengan segala konsekuensinya, masak mengganti nama rumah sakit menjadi rumah sehat saja tidak bisa.
Iqbal Mochtar Pengurus PB IDI dan PP IAKMI, Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah