Pembangunan Sumur Resapan di Jakarta Tuai Kritik, seperti Apa yang Ideal?

www.suara.com, Senin, 13 Desember 2021

Pada akhir November lalu, Gery Kukuh Yudha, 31, menyaksikan lima kecelakaan dalam kurun dua hari. Kecelakaan itu terjadi di jalan raya tepat di depan lokasi dia bekerja sebagai petugas parkir di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Penyebabnya, menurut Gery, adalah sumur resapan yang amblas di salah satu lajur Jalan Karang Tengah Raya. Beberapa pengendara yang mencoba menghindar justru kehilangan keseimbangan hingga terjatuh. Dua insiden itu tidak berujung fatal.

Petugas konstruksi kemudian memperbaiki sumur resapan yang amblas itu, namun untuk mengantisipasi kejadian serupa, warga setempat menaruh pot tanaman sebagai tanda agar pengendara tidak melintasinya. Akibatnya, satu lajur jalan tidak berfungsi sehigga membuat lalu lintas menjadi lebih macet pada jam-jam tertentu.

“Ini memang sudah dicor, tapi takutnya nanti amblas lagi, jatuh lagi. Dari awal ini memang kami halangi untuk mengantisipasi ada yang amblas, jatuh, kecelakaan. Akibatnya bisa fatal,” kata Gery kepada BBC News Indonesia.

Terdapat setidaknya puluhan sumur resapan yang ditanam di median jalan di area ini, beberapa ditempatkan berdekatan. Kehadiran sumur resapan itu juga membuat permukaan aspal menjadi tidak rata.

Berdasarkan keterangan yang tertera di bagian tutupnya, sumur resapan ini termasuk kategori dangkal, dengan kedalaman tiga meter. Perusahaan kontraktornya adalah PT Jaya Beton.

Menurut Gery, sumur resapan itu dibangun sejak bulan lalu. Area ini, kata dia, memang rawan genangan ketika hujan melanda. Sumur resapan ditujukan untuk menjawab persoalan itu.

“Di sini genangannya parah, bisa sebetis, tapi [sejauh ini] belum hujan gede, belum kelihatan masih banjir atau nggak. Mudah-mudahan bisa [mengurangi genangan], kalau nggak buat apa dibangun?” kata Gery.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah membangun setidaknya 16.000 sumur resapan pada tahun ini, namun sebagian di antaranya menuai kritik karena penempatan yang dinilai tidak tepat dan desain teknis yang tidak sesuai standar.

Secara umum, Pemprov menargetkan untuk membangun 1,1 juta sumur resapan hingga 2022 yang bisa menampung dan menyerapkan air sebanyak 11,5 juta meter kubik ke dalam tanah.

Ada beberapa titik sumur resapan lain yang juga menuai kritik. Misalnya, di Jalan Lebak Bulus III yang sempat membuat aspal jalan retak. Selain itu, di area sekitar Banjir Kanal Timur yang merupakan salah satu kanal pengendali banjir di Jakarta.

Sekretaris Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Dudi Gardesi, mengakui adanya kesalahan-kesalahan itu dan kontraktor pelaksana telah ditegur dan dipanggil untuk segera membenahinya.

Terkait titik penempatan sumur resapan yang dikeluhkan karena membahayakan pengendara, Dudi mengatakan Dinas Sumber Daya Air “bukan satu-satunya” yang menggali badan jalan.

“Yang lain pun banyak. PLN, gas, buka juga, Bina Marga juga bikin utilitas di jalan. Intinya, kita bukan pionir pertama. Soal ada ketidaksempurnaan akan kita perbaiki, ini kan masih dalam masa tanggung jawab mereka [kontraktor],” kata Dudi kepada BBC Indonesia.

Bisakah sumur resapan menjawab persoalan di Jakarta?

Menurut Dinas SDA, program pembangunan sumur resapan di Jakarta bertujuan untuk mengatasi genangan air dan menjadi kunci untuk mengantisipasi terjadinya banjir di sejumlah titik yang rutin terdampak.

Sebab, kata Dudi, daya dukung infrastruktur di Jakarta untuk mampu mengatasi ancaman banjir lokal, juga banjir yang datang dari hulu dan arah pesisir sangat terbatas.

“Saluran kita itu banyak keterbatasannya. Kalau harus melebarkan itu tempatnya nggak ada lagi. Ini [sumur resapan] juga sudah teruji juga dengan kita menambah tampungan. Tapi kalau tampungan itu sifatnya harus besar seperti waduk kan nggak mungkin juga,” papar Dudi.

Selain itu, Dudi mengatakan sumur resapan juga dapat menambah cadangan air tanah Jakarta yang telah digunakan secara berlebihan.

Pemanfaatan sumur resapan untuk tujuan ini sebetulnya telah disadari sejak tiga dekade lalu. Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto pernah mewajibkan warga di Jakarta Selatan membangun sumur resapan melalui Keputusan Gubernur Nomor 17 Tahun 1991.

Melalui bukunya berjudul Catatan Seorang Gubernur, Wiyogo mengatakan kebijakan ini diambil karena air tanah Jakarta telah digunakan secara berlebihan oleh masyarakat dan industri.

Kebijakan untuk membangun sumur resapan kemudian berlanjut pada era gubernur-gubernur berikutnya. Gubernur Sutiyoso, pada 2005, mewajibkan pemilik bangunan memiliki sumur resapan sebagai syarat agar izin mendirikan bangunan (IMB) bisa diterbitkan. Sayangnya, aturan mengenai sumur resapan ini kerap kali diabaikan.

Pada 2018, Gubernur Anies Baswedan menginspeksi sejumlah gedung di Jakarta dan menemukan banyak yang tidak memiliki sumur resapan. Bahkan, masih ada gedung yang menggunakan air tanah.

Penggunaan air tanah yang berlebihan ini berkaitan dengan persoalan lainnya di Jakarta: penurunan muka tanah.

Hasil kajian teknis Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menunjukkan bahwa pengambilan air tanah yang berlebih menjadi faktor dominan yang menyebabkan penurunan muka tanah di Jakarta. Laju maksimum penurunan tanah di Jakarta mencapai 6 cm per tahun.

Tetapi, apakah pembangunan sumur resapan yang masif kemudian bisa menjawab persoalan itu?

Pakar Tata Kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, mengatakan pada prinsipnya sumur resapan bisa menjawab persoalan genangan dan menambah cadangan air tanah. Hanya saja, itu berlaku pada skala lokal.

Artinya, sumur resapan bukan lah infrastruktur pengendali banjir yang efektif pada skala kota.

“Sumur resapan hanya berfungsi membantu mengurangi genangan air skala mikro di halaman rumah, sekolah, parkir, atau taman,” kata Nirwono.

Oleh sebab itu, Nirwono berpandangan pembangunan sumur resapan sebetulnya bisa dilaksanakan sebagai gerakan masyarakat berdasarkan kajian teknis dan pengawasan pemerintah. Sehingga, anggaran pemerintah dapat difokuskan untuk mengatasi banjir pada skala yang lebih besar lewat program normalisasi sungai, revitalisasi waduk, dan rehabilitasi saluran air kota.

Begitu juga fungsi sumur resapan untuk menambah cadangan air tanah. Menurut dia, sumur resapan bisa menambah cadangan air tanah skala lokal, tetapi tidak banyak berpengaruh untuk mencegah penurunan muka tanah.

“Karena seperti di Jakarta Utara tidak bisa dibuat sumur resapan mengingat kedalaman air tanahnya sangat dangkal, kurang dari 2 meter,” ujar Nirwono.

Pemerintah, lagi-lagi diminta fokus pada penanganan yang lebih komprehensif, yakni menyediakan akses perpipaan air minum di seluruh kawasan Jakarta sehingga penggunaan air tanah dapat dihentikan.

Selain itu, kata Nirwnono, beragam kritik yang muncul terkait penempatan sumur resapan di ruang publik menunjukkan bahwa Pemprov tidak memiliki perencanaan dan kajian yang matang pada program ini. Alih-alih menjawab persoalan di Jakarta, sumur resapan justru menimbulkan persoalan baru berupa keselamatan pengendara jalan.

Penempatan sumur resapan yang salah kaprah, lanjut dia, hanya akan membuat fungsi sumur resapan tidak efektif.

“Apalagi kalau bicara konteksnya pemeliharaan jalan, ada kemungkinan ke depan sumur resapan itu akan tertutup oleh aspal,” tutur Nirwono.

Penempatan sumur resapan di sisi sungai juga dianggap tidak berguna, karena sungai itu lah yang seharusnya menjadi konstruksi utama pengendali genangan dan banjir di area tersebut. Selain itu, tanah yang berada di sekitar sungai biasanya mengalami infiltrasi sehingga struktur tanahnya tidak mampu meresapkan air dengan baik.

Seperti apa sumur resapan yang ideal?

Pakar hidrologi dari Universitas Gadjah Mada, Pramono Hadi, mengatakan sumur resapan pada dasarnya dibuat sebagai tempat penampungan bagi limpasan air hujan untuk diresapkan ke dalam tanah. Dengan demikian, kehadiran sumur resapan dapat mengurangi potensi genangan.

Fungsi lainnya dari sumur resapan, kata Hadi, adalah untuk memperbanyak cadangan air tanah. Pemanfaatan sumur resapan dapat mencegah penurunan permukaan tanah akibat penggunaan air tanah secara berlebihan.

Menurut Hadi, ada dua hal yang sangat menentukan efektivitas sumur resapan. Pertama, karakter tanah yang berongga sehingga bisa meresapkan air dengan baik.

Penempatan sumur resapan pada wilayah dengan jenis tanah yang lempung akan sia-sia karena air tidak akan bisa meresap dengan baik.

Kedua, kedalaman air tanahnya paling tidak 2-3 meter dari permukaan tanah. Ini berarti kawasan pesisir seperti Jakarta Utara tidak bisa menjadi area serapan karena kedalaman air tanahnya hanya berkisar 0,5-1 meter dari permukaan tanah.

“Jadi kalau kita mau menempatkan sumur resapan itu harus dilihat lokasinya. Pertanyaannya apakah yang kemarin [dibangun] di tepi sungai dan di tepi jalan itu sudah diuji? Apakah fungsinya memang resapan atau tidak, kalau tidak meresapkan ya tidak berfungsi,” kata Pramono.

Senada dengan Nirwono, Hadi mengatakan sumur resapan bukan lah pengendali banjir. Sumur resapan memang bisa mengurangi volume genangan skala lokal, namun tidak akan bisa mengatasi volume air bah seperti banjir layaknya fungsi waduk dan sungai.

Sumur resapan, lanjut dia, bertujuan untuk memperbanyak cadangan air tanah dalam jangka panjang.

Sayangnya, Pramono berpendapat banyak penerapan sumur resapan di Indonesia yang “berbasis anggaran” tanpa betul-betul memperhatikan efektivitasnya.

Padahal apabila dikelola dengan baik, sumur resapan bisa menjadi sarana pengelolaan air di area yang mengalami alih fungsi lahan akibat pembangunan hingga di daerah rawan kekeringan saat musim kemarau.

“Indonesia itu air permukaan dan hujannya besar sekali, cuma kita tidak cukup bagus mengelola hujan yang jatuh sehingga pada musim-musim kemarau kita tidak punya air karena tidak punya sistem yang baik. Kita dininabobokan dengan alam,” kata Pramono.