www.detik.com, Senin, 8 Maret 2021
Dirut PD Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontonan ditetapkan KPK sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan lahan. NasDem DKI Jakarta menyebutkan ada indikasi mark up harga saat pengadaan lahan membangun rumah DP nol rupiah di Cipayung, Jakarta Timur.
“Iya. Jadi proses pembelian tanah yang diduga ada mark up. Jadi mark up nya ini mungkin terindikasi, jadi ada kerugian negara. Dan pada saat rapat di banggar yang saya tahu Rp 5,2 juta per meter,” kata Bendahara Fraksi NasDem DPRD DKI Jakarta Ahmad Lukman Jupiter saat dihubungi, Senin (8/3/2021).
Lebih lanjut Jupiter menerangkan Pemprov DKI Jakarta mengamanahkan pembangunan rumah DP nol rupiah kepada PD Sarana Jaya. Khusus di Cipayung, luas pengadaan lahannya mencapai 4,1 hektare. Tanah ini, sebutnya, dibanderol dengan harga Rp 5,2 juta per meter.
“Untuk nol rupiah, jadi program DP nol rupiah adalah program dari Pemprov DKI tapi diberikan penugasan dibangun oleh BUMD, Sarana Jaya. Nah untuk objek program DP 0 rupiah ini ada di kawasan Munjung, kelurahan Pondok Ranggon, itu di Kecamatan Cipayung ya, Jakarta Timur. Kurang-lebih pembelian tanahnya itu seluas 41.921 meter kubik (4,1 hektare),” ungkapnya.
Tak hanya itu, politikus NasDem ini menyampaikan, sejak 2018, pembangunan rumah DP nol rupiah ini juga dilakukan di sejumlah wilayah lainnya. Misalnya di Jakarta Utara dan Jakarta Barat.
“Di bandar Kemayoran di Jakarta Utara juga ada, kemudian dia di Cengkareng, Jakbar. Kemudian juga ada di Pondok Kelapa, (pembangunannya) sudah mencapai 57 persen,” terangnya.
Namun, Jupiter mengaku kaget mendengar kabar Dirut PD Sarana Jaya terlibat kasus korupsi pengadaan tanah. Ke depan, ia meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lebih selektif memilih direksi BUMD.
“Saya kaget juga mendengar hal ini, saya juga ingin agar ke depan pak Anies dalam mengelola BUMD ini kan menggunakan uang rakyat dan juga yang dikelola ini bukan uang 1 juta ataupun 10 juta, bahkan ini ratusan miliar bahkan 1 triliun anggaran yang dipergunakan. Menurut saya harus ke depannya mendapatkan orang yang punya dedikasi, orang-orang yang miliki integritas yang memang tujuannya untuk warga DKI Jakarta, untuk kepentingan warga DKI,” jelasnya.
Selain itu, ia berharap Anies bisa melibatkan DPRD DKI Jakarta dalam menentukan pemimpin. Ia menyarankan ada fit and proper test bagi calon pemimpin BUMD.
“Tapi kalau hanya secara sepihak atau hanya secara politis titipan dari sana, titipan dari sini kemudian ntar orang itu katakanlah rekam jejaknya juga kita tidak tahu, asal memilih orang saja saya kira itu akan mudah tapi yang kita pikirkan adalah BUMD ini dengan mengelola uang yang begitu besar, kemudian uang yang dikelola ini adalah uang rakyat tentu harus dilibatkan dong wakil rakyat dalam hal, ini menjadi evaluasi sebenarnya. Karena ini mengelola uang rakyat seandainya dalam pemilihan direksi menurut saya fit and proper test-lah di DPRD,” imbuhnya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencopot Direktur Utama (Dirut) PD Sarana Jaya Yoory Corneles Pinontoan. Hal ini menyusul penetapan Yoory sebagai tersangka oleh KPK atas kasus dugaan korupsi terkait pengadaan lahan di DKI Jakarta.
Riyadi menjelaskan pencopotan Yoory sebagai dirut berlaku sejak Jumat (5/3) lalu. Keputusan ini tertuang dalam Kepgub Nomor 212 Tahun 2021 tentang Penonaktifan Direktur Utama dan Pengangkatan Direktur Pengembangan sebagai Pelaksana Tugas Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya.
Kasus yang menjerat Yoory sudah pada tahap penyidikan. Surat Perintah Penyidikan atau Sprindik sudah diteken pada 24 Februari 2021. Tercantum sejumlah nama sebagai tersangka, yaitu Yoory Corneles, Anja Runtuwene, dan Tommy Adrian. Ada satu lagi yang dijerat sebagai tersangka, yaitu korporasi atas nama PT Adonara Propertindo.
Identitas tersangka yang disebutkan jelas, yaitu Yoory Corneles sebagai Direktur Utama Perusahaan Umum Daerah Pembangunan Sarana Jaya. Tertera pula perkara yang tengah diusut yaitu terkait pengadaan tanah di Munjul, Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur, pada 2019.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor).