www.detik.com, Selasa, 30 November 2021
Gelaran Formula E Jakarta masih terombang-ambing lantaran tengah diusut KPK. Salah satu yang tengah diselidiki KPK yaitu mengenai commitment fee atau biaya komitmen terkait Formula E. Apa maksudnya?
DKI Jakarta sebelumnya telah diresmikan sebagai salah satu tuan rumah penyelenggaraan Formula E tahun 2022. Keputusan tersebut ditetapkan melalui FIA World Motor Sport Council di Paris, Prancis.
Pemprov DKI Jakarta lantas menugaskan PT Jakarta Propertindo (JakPro) selaku pihak yang bertanggung jawab untuk penyelenggaraan Formula E Jakarta. JakPro pun berkoordinasi dengan Formula E Operations (FEO).
Pada September 2019, beredar surat dari Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) DKI Jakarta ke Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang berisi rincian biaya komitmen Formula E. Biaya komitmen itu wajib dibayarkan Pemprov DKI ke pihak Formula E melalui Dispora DKI Jakarta.
Dalam surat tersebut, Pemprov DKI memiliki kewajiban membayar biaya komitmen selama lima tahun berturut-turut. Rinciannya sebagai berikut:
Sesi 2019/2020: 20 juta pound sterling atau setara Rp 393 miliar
Sesi 2020/2021: 22 juta pound sterling atau setara Rp 432 miliar
Sesi 2021/2022: 24,2 juta pound sterling atau setara Rp 476 miliar
Sesi 2022/2023: 26,620 juta pound sterling atau setara Rp 515 miliar
Sesi 2023/2024: 29,282 juta pound sterling atau setara Rp 574 miliar
Jika ditotal, rincian awal itu senilai 121 juta pound sterling atau sekitar Rp 2,3 triliun.
Masih dalam surat Dispora tersebut, Anies diingatkan terkait kewajiban membayar biaya komitmen selama lima tahun itu. Jika merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, pada Pasal 92 ayat (6) disebutkan, jangka waktu penganggaran pelaksanaan kegiatan tahun jamak tidak melampaui akhir tahun masa jabatan daerah berakhir.
“Kecuali kegiatan tahun jamak dimaksud merupakan prioritas nasional dan atau kepentingan strategis nasional sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian isi surat Dispora itu.
Dan, jika kewajiban bayar lima tahun berturut itu tidak dijalankan, bisa dianggap sebagai perbuatan wanprestasi dan bisa digugat.
“Dengan ditandatanganinya perikatan MoU, maka Pemprov DKI Jakarta harus bisa mengalokasikan anggaran dengan besaran sesuai yang diperjanjikan. Apabila kewajiban tersebut tidak bisa dilaksanakan, maka akan dianggap sebagai perbuatan wanprestasi yang dapat digugat di arbitrase internasional di Singapura,” tulis surat tersebut.
Belakangan JakPro bersama FEO membuat kesepakatan baru terkait biaya komitmen. Disebutkan bahwa kesepakatan baru itu salah satunya mengenai pemangkasan biaya komitmen menjadi Rp 560 miliar untuk 3 musim balapan.
Direktur PT JakPro, Gunung Kartiko, menuturkan mulanya Pemprov DKI memiliki kewajiban membayar biaya komitmen sebesar Rp 2,3 triliun untuk 5 musim. Setelah ada kesepakatan baru, surat tersebut dinyatakan gugur.
“Gugur. Sudah nggak ada lagi. Isu itu sudah nggak ada, kalau boleh dibuka kontraknya, sudah begitu, sudah tanda tangan. Kontrak dengan FEO sudah tanda tangan,” ujar Gunung.
Gunung menyebut biaya komitmen akan diperuntukkan buat pembiayaan FEO, seperti membawa kru dari Eropa, mobil listrik, hingga para atlet. Gunung juga menerangkan soal perbedaan harga commitment fee setiap negara penyelenggara, salah satunya faktor jarak.
“Sebenarnya commitment fee ini balik ke lokasi penyelenggara dalam bentuk biaya-biaya yang akan dikeluarkan oleh FEO, salah satunya pengiriman kru, pengiriman atlet, pengiriman mobil, kemudian ratusan boks yang akan dikirim juga di sini, termasuk grandstand, panggung dan lain-lain, hadiah juga, itu akan kembali ke sini, termasuk EO-nya, EO penyelenggara racing-nya sendiri kan bayar. Itu kan orang yang certified, orang FIA (Federation in Automotive) ya. Jadi itu menggunakan biaya itu (commitment fee),” ucap Gunung.
“Kalau Europe to Europe dibawa truk saja bisa. Misalkan satu kota murah atau dari pertama nggak bayar karena biaya-biaya itu akan ditanggung di kota penyelenggara. Kalau kita, tidak mengeluarkan biaya itu lagi tapi dengan menggunakan commitment fee,” imbuhnya.
‘Katanya’ Pembiayaan dari APBD DKI
Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik DKI Jakarta dalam dokumen ‘Katanya Vs Faktanya Formula E’ yang dilihat detikcom, Rabu (29/9/2021), blak-blakan soal anggaran Formula E. Pemprov DKI menjelaskan soal ‘katanya’ Formula E hanya untung jika digelar selama 5 tahun berturut-turut dan hanya dua kota yang melakukan hal itu serta mengalami kerugian.
“Hasil kesepakatan baru antara Jakpro dengan FEO adalah periode pelaksanaan disesuaikan 3 tahun, yaitu 2022, 2023, dan 2024,” ucap Pemprov DKI.
Pemprov DKI mengatakan kerugian bakal terjadi jika Formula E hanya satu kali digelar di Jakarta. Salah satu kerugiannya, menurut Pemprov DKI, infrastruktur Formula E yang telah dibangun akhirnya tak bisa dimanfaatkan maksimal.
Berikutnya, barulah Pemprov DKI menjelaskan soal penggunaan APBD DKI Jakarta untuk Formula E. Penjelasan itu disampaikan untuk menjawab ‘katanya’ commitment fee Formula E berjumlah Rp 2,3 triliun dan biaya pelaksanaan Rp 4,4 triliun.
“Faktanya, commitment fee adalah Rp 560 miliar (bukan hanya untuk tahun pertama, tapi untuk semua tahun penyelenggaraan),” tulis Pemprov DKI.
Untuk Rp 560 miliar itu telah dibayarkan Pemprov DKI ke Formula E melalui APBD. Sedangkan biaya pelaksanaan Formula E setiap tahunnya membutuhkan Rp 150 miliar. Pihak JakPro sendiri mengklaim bila Rp 150 miliar per tahun itu tidak akan bersumber dari APBD. Lantas dari mana?
“Kalau dapatnya Rp 150 miliar, ya untuk event hari-H saja cukup, ya, sudah kita selenggarakan segitu,” kata Gunung Kartiko selaku Direktur PT Jakpro.
Dalam penjelasan Pemprov DKI melalui Diskominfotik, dana Rp 150 miliar itu sebagai biaya pelaksanaan Formula E Jakarta. Artinya, jika Formula E digelar 3 tahun berturut-turut, dana yang dibutuhkan selama penyelenggaraan Formula E Jakarta sebesar Rp 450 miliar, di luar commitment fee Rp 560 miliar yang sudah dibayarkan ke FEO.
Direktur Utama PT Jakpro Widi Amanasto menjelaskan uang pelaksanaan itu akan diperuntukkan bagi penyiapan infrastruktur hingga pemeliharaan sirkuit balapan jika diakumulasikan. Biaya itu disebut akan didapat dari pihak ketiga atau sponsor.
“Aspal jalan, infrastruktur tadi kan, kemudian batas jalan, panitia, event organizer (EO). Jadi kita upayakan teknisnya, track tadi kita lakukan pengaspalan ulang ya, harus rata, kita lakukan perbaikan aspal tadi. Itu biaya dari kita untuk masyarakat, dari mana? Ya dari sponsor,” sambungnya.
Widi optimistis JakPro akan mendapatkan pembiayaan melalui sponsorship. Bahkan dia mengklaim saat ini tengah menyeleksi proposal sponsorship dari pihak ketiga.
“Sponsor, gini ya, antrean panjang. Tapi sponsor itu kan pasti lihat proposalnya dong. Nah proposalnya di mana? Proposalnya nggak lokasi dulu, kemudian jalurnya seperti apa, terus mau sponsor kan saya mau titik ini, titik ini, titik ini, nah, itu baru kita susun,” ujarnya.
KPK Usut soal Bayar Lebih Mahal
Urusan biaya komitmen Formula E yang disetor Pemprov DKI sempat menjadi sorotan. Pasalnya, total commitment fee yang ditanggung APBD DKI berbeda jauh dengan commitment fee di kota-kota belahan dunia lain yang juga menyelenggarakan Formula E.
Perbedaan commitment fee awalnya dipertanyakan oleh Fraksi Partai PSI DPRD DKI. Wakil Ketua Komisi E dari F-PSI, Anggara Wicitra, mengungkap total commitment fee yang ditanggung APBD DKI sebesar 122,102 juta pound sterling atau setara Rp 2,3 triliun.
Sementara penyelenggaraan Formula E di Montreal, Kanada, PSI menyebut biaya Nomination Fees for the City of Montreal sebesar C$ 151 ribu atau setara Rp 1,7 miliar dan race fees sebesar C$1.5 juta atau setara Rp 17 miliar dengan total biaya sebesar Rp 18,7 miliar. Bahkan, menurut Anggara, penyelenggaraan Formula E di Kota New York, Amerika Serikat, tidak dikenai biaya commitment fee.
“Ini patut dipertanyakan, mengapa biaya commitment fee Formula E Jakarta sangat tinggi dan jelas membebani APBD Jakarta,” ujar Anggara.
Di sisi lain, KPK yang tengah menyelidiki dugaan korupsi dalam gelaran Formula E Jakarta sempat menyinggung soal biaya komitmen. Apa kata KPK?
Pada Kamis, 25 November 2021, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata buka suara mengenai dugaan biaya komitmen Formula E Jakarta yang lebih mahal dibandingkan kota-kota di negara lain selaku penyelenggara Formula E. Menurut Alexander, perihal itu menjadi salah satu bahan yang diselidiki KPK.
“Jakarta mungkin kita kan mau meng-upgrade supaya Jakarta dikenal dunia internasional kan seperti itu, barang kali. Kenapa harus membayar lebih dibanding kota-kota yang lain? Mungkin dianggap sudah populer, sudah bisa menarik wisatawan untuk menyaksikan Formula E dan seterusnya,” kata Alexander kepada wartawan saat itu.
“Itu yang tentu nanti didalami oleh penyelidik, kenapa harus membayar sampai sedemikian mahal, dan seterusnya. Alasan-alasan kenapa Pemprov DKI membayar sekian-sekian, dan transfernya ke mana, apakah ke pihak-pihak yang betul-betul punya kewenangan ya misalnya pemilik hak atas Formula E dan seterusnya. Mungkin juga ada branch marking ke negara lain,” imbuhnya.
Dalam kasus-kasus di KPK sering kali disebutkan soal biaya komitmen atau commitment fee. Istilah ini dipahami sebagai uang yang disepakati antara pemberi suap ke penerima suap berkaitan dengan pengerjaan suatu proyek. Namun tentunya penegak hukum harus menemukan adanya unsur dugaan pidana di balik kesepakatan soal biaya komitmen itu.
Di sisi lain, untuk urusan perbankan, istilah biaya komitmen biasa digunakan. Merujuk pada penjelasan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), biaya komitmen adalah biaya yang akan dibebankan kepada debitur sehubungan dengan kesanggupan kreditur untuk meminjamkan sejumlah uang dengan suku bunga dan dalam waktu yang disepakati. Komitmen sendiri bisa dipahami sebagai ikat janji atau perikatan atau kontrak berupa janji yang tidak dapat dibatalkan secara sepihak dan harus dilaksanakan apabila persyaratan yang disepakati bersama dipenuhi.
Terlepas dari itu KPK–sesuai penjelasan dari Alexander Marwata–perlu menelusuri lebih lanjut mengenai hal-hal terkait biaya komitmen itu. Sedangkan mengenai biaya komitmen itu sendiri apabila tidak melanggar hukum, maka tidak ada masalah.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria pada 19 September 2021 pernah menjawab soal perbedaan biaya komitmen Formula E Jakarta yang disetorkan Jakarta dengan kota lain di dunia. Riza menyebut perbedaan biaya komitmen di setiap benua sesuai dengan ketentuan penyelenggara.
“Ada perbedaan commitment fee antara Asia dan Eropa. Kita ikuti ketentuan yang ada dari Formula E,” kata Riza kepada wartawan.
Alberto Longo: Jakarta Tak Bayar Lebih
Sementara itu, co-founder Formula E, Alberto Longo, mengungkapkan biaya sekali balap Formula E. Alberto menjelaskan dalam satu kali balapan membutuhkan biaya sekitar USD 25 juta.
“Jadi untuk satu balapan satu kali itu biayanya sekitar 25 juta dolar dan ini tidak termasuk juga investasi seperti jalanan dan juga materi untuk jalur, track-nya,” kata Alberto di Black Stone, Jakarta Pusat, Rabu (24/11).
Walaupun seluruh biaya pengadaan formula E tidak dapat dibuka, Alberto meyakinkan Jakarta tidak membayar lebih dari yang dibayarkan oleh kota-kota lain.
“Fee-nya itu tidak bisa dibuka karena itu bersifat rahasia, tetapi saya bisa yakinkan bahwa Jakarta tidak membayar lebih dari yang dibayarkan oleh kota-kota lain,” jelas Alberto
“Kita paham bahwa Formula E adalah kejuaraan dunia dan ini harganya sangat mahal,” sambungnya.
Di sisi lain, mantan pimpinan KPK yang juga anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta, Bambang Widjojanto (BW), ikut bersuara. Menurutnya, penyelidikan KPK soal biaya komitmen Formula E tidak masalah.
“Kalau merujuk pada penjelasannya Pak Alberto (Co-Founder Formula E Operation) nggak ada masalah dengan itu, nggak ada masalah sama sekali. Nanti kita juga membuka peluang kepada teman-teman di KPK, ngomong langsung dengan organizing committee-nya,” kata BW kepada wartawan di KPK, Senin (29/11).
BW menyebut hal itu sebelumnya sudah sempat dijelaskan Alberto Longo selaku FEO. Menambahkan, Dirut JakPro Widi Amanasto mengatakan Alberto siap menjelaskan serta transparansi terkait penyelenggaraan Formula E.
“Mungkin diluruskan bukan organizing committee tapi Presiden FEO, dia siap untuk menjelaskan. Jadi nanti dia akan klarifikasi dan transparan,” ujar Widi.
Bawa 1.000 Halaman Dokumen
Kedatangan BW bersama Widi sendiri ke KPK terkait penyerahan dokumen. BW menyebut ada 1.000 halaman lebih yang dibawa.
“Dokumen-dokumennya misalnya ini, dokumen-dokumennya BPK, kan itu penting yang juga harus diserahkan. Terus ada beberapa dokumen yang kita nggak bisa ngomong di sini yang diminta oleh KPK, nah itu kita serahin juga. Prinsipnya kita mau government, kita mau buka, mau kita kasih semua kepada penegak hukum yang memang melakukan ini. Jadi, mau membantu teman-teman di KPK, karena kita mau membuat era baru nih, dokumen-dokumen yang diperlukan kan harus dibantu,” ucap BW.
“Sekarang malahan 1.000 halaman yang kita lengkapi,” imbuhnya.
Widi menegaskan pihaknya ingin membantu KPK agar urusan ini menjadi terang benderang. Dia meyakinkan bila tak ada yang ditutupi.
“Kami kan insyaallah memberikan yang dihendaki, terus kemudian menjelaskan memang kalau ada pertanyaan, jadi tugas kita itu. Prinsipnya mau membantu, kedua ingin bikin governance, terus tiga mengubah pola komunikasi kita. Jadi kalau daripada ditanya lebih bagus, apa ini, jadi kalau ke sini lebih pada pendalaman. Semua bahan kita buka, karena memang tidak ada yang ingin ditutup-tutupi,” ucapnya.
(dhn/tor)