Senin, 24 Agustus 2015. Ketua BPK, Harry Azhar Azis, mengahadiri Rapat Koordinasi antara Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dengan Gubernur, Kepala Kejaksaan Tinggi, dan Kepala Kepolisian Daerah, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.
Rapat Koordinasi yang membahas mengenai “Percepatan Pembangunan” juga dihadiri oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla, Kepala Polisi Republik Indonesia, Badrodin Haiti, Jaksa Agung, HM Prasetyo, Plt Ketua KPK, Taufiqurachman Ruki, Kepala BPKP, Ardan Adiperdana, serta para menteri koordinator.
Presiden mengatakan saat ini terjadi perlambatan penyerapan dana APBN dan APBD karena pejabat pengguna anggaran takut terjerat kasus hukum. Mereka memilih menyimpan di Bank Pembangunan Daerah (BPD) , ketimbang menggunakan anggaran yang ada untuk program pembangunan.
Ketakutan para pejabat pengguna anggaran berdampak serius bagi penyerapan APBN dan APBD, saat ini belanja APBN baru sekitar 50 persen dan belanja modal yang terserap baru 20 persen. Selain itu, jumlah dana daerah yang masih mengendap di Bank sangat besar.
Oleh sebab itu, Presiden meminta aparat penegak hukum tidak mengkriminalisasikan kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Sebab kebijakan pemerintah tidak masuk ranah pidana tetapi perdata. Oleh karena itu semua aparat penegak hukum agar jangan kriminalisasikan kebijakan karena harus ada diskresi untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan.
Terkait imbauan Presiden agar kebijakan tak dipidanakan, Ketua BPK menilai, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi harus direvisi. Ketua BPK mencontohkan, dengan kata ‘dapat’ dalam UU tipikor dan ‘yang merugikan perekonomian’ memiliki tafsiran luas. Salah satu solusi,’merugikan perekonomian’ bisa direvisi menjadi merugikan keuangan negara.
“Harus dibedakan antara kerugian negara dan potensi kerugian negara. Pidana hanya bisa dikenakan bila kerugian negara sudah jelas terjadi dan menguntungkan pejabat bersangkutan. Misalnya, menggunakan uang daerah untuk membangun rumah pribadi” jelas Ketua BPK.
Ketua BPK juga menambahkan, apabila kepala daerah menerobos aturan untuk memudahkan kinerja, hal tersebut belum tentu pelanggaran hukum atau masuk kategori korupsi. Kerugian negara harus dijelaskan secara spesifik agar tindakan hukum tepat sasaran.
Selain itu, BPK juga sudah sepakat dengan pemerintah bahwa temuan potensi kerugian negara oleh kepala daerah tidak bisa langsung dijadikan perkara hukum. Hal itu harus terlebih dahulu diklarifikasi oleh pejabat yang bersangkutan dalam tenggat waktu 60 hari. Setelah selesai dan tidak ditindaklanjuti oleh para kepala kementerian atau negara, gubernur, bupati, dan walikota baru diambil tindakan hukum.
Jaminan masa jeda 60 hari tersebut diharapkan mempercepat penyerapan anggaran untuk menggerakan pembangunan ekonomi di daerah sehingga pertumbuhan ekonomi akan membaik.