Jakarta – Komisi IV DPR dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sepakat proyek reklamasi di Teluk Jakarta dihentikan. Apa implikasi hukumnya?
Menurut pakar hukum lingkungan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Bono Priambodo, Menteri KKP memang punya kewenangan terkait proses reklamasi Teluk Jakarta berdasarkan UU Nomor 27 tahun 2007 jo UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
“Jadi menurut UU itu, semua pemanfaatan wilayah pesisir harus didahului oleh rencana zonasi. Berdasarkan itu Menteri KKP merasa punya wewenang untuk menghentikan. Kenyataannya memang belum ada rencana zonasi,” jelas Bono saat berbincang dengan detikcom, Kamis (14/4/2016).
Sementara rencana zonasinya tersandung kasus suap, terlepas dari indikasi korupsi itu, jika memang belum ada rencana zonasi, menurut Bono, pemanfaatan apa pun jadi ilegal. Yang membuat masalah lebih rumit lagi, imbuhnya, di Indonesia berlaku 3 hukum tata ruang.
(Baca juga: Komisi IV DPR dan KKP Sepakat Proyek Reklamasi Jakarta Dihentikan)
Pertama yang sudah disebutkan, yakni UU Nomor 27 tahun 2007 jo UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Kedua, berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Untuk UU Nomor 26 Tahun 2007 ini, sudah ada PP yang diturunkan, termasuk PP Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur.
Ketiga, adalah UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini mengamanatkan untuk inventarisasi lingkungan yang dituangkan dalam Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).
“Belum ada solusinya, mana yang lebih kuat, apakah menurut UU Tata Ruang, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir, atau PPLH, belum ada itu (yang lebih kuat). Kecuali ada yang mengajukan judicial review ke MK atau uji formil ke MA. Jadi apa pun kondisinya, ini masih free for all, siapa pun bisa gugat. Jadi bukan hanya Menteri KKP, Menteri LH juga kalau mau dia bisa (menentukan reklamasi Teluk Jakarta),” imbuh dia.
Maka peluang gugatan hukum terhadap aturan yang ada, juga gugatan pengembang kepada pemerintah sangat besar. Mengajukan gugatan judicial review ke MK, uji formil ke MA maupun ke PTUN sangat terbuka lebar.
“Seandainya Keppres tahun 95, andai tak ada perubahan hukum sejak 95 sampai sekarang, itu satu-satunya dasar hukum. Tapi tahun 2007 muncul, 2009 muncul lagi. Dilihat secara linear rencana para penguruk teluk ini, mereka beres kalau di zaman Orba, Keppres jadi, dilaksanakan Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta, udah selesai. Cuma masuk reformasi, ganti rezim beberapa kali, semakin nggak jelas ke depannya seperti apa,” jelas dia.
(nwk/nrl)