JAKARTA – Pengamat perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Jogo menilai proyek reklamasi giant sea world yang ada di teluk Jakarta wajib dihentikan. Pasalnya, selain menimbulkan pro kontra, reklamasi juga belum sewajarnya dilakukan.
“Masalah di darat saja belum selesai kenapa jadi ikut tambah masalah di laut,” cetus Nirwono ketika dihubungi SINDO, Minggu 17 April 2016.
Saat ini kata Nirwono, dari 100% lahan yang ada di darat DKI, hanya 10% yang dibangun Ruang Terbuka Hijau (RTH), 67% telah di bangun hunian vertikal, sisanya 23% termasuk wilayah abu-abu.
Karena itulah, ia meminta, agar Pemprov tak lagi melanjutkan pembangunan, sebelum penataan di daratan dilakukan secara maksimal. Ketegasan tidak lagi memberikan izin kepada pengembang yang membangun kawasan pemukiman vertikal harus distop, sementara pembangunan ke hunian secara horizontal harus dilakukan segera.
“Jadi kalau pada dasarnya karena kurang lahan, memang karena kami tidak tegas kepada pengembang,” ucapnya.
Termasuk soal penanganan banjir, adanya giant sea world dianggap Pemprov akan dapat mengurangi Jakarta dari banjir dan genangan. Tapi, kata Nirwono, hal ini tidak akan berjalan efektif selama daratan belum mampu menormalisasi 44 waduk dan 14 situ yang ada, bahkan secara kasat mata, lanjutnya, banyak sungai yang belum dinaturalisasi.
“Manajamen air kita ini buruk banget. Harus dari awal kalo untuk mengatasi banjir, semestinya saluran mikro, makro, sungai, dan lingkungan harus dilakukan. Sungai-sungai harus dilakukan naturalisasi bukan di normalisasi. Kembalikan pada bentuk aslinya,” tuturnya.
Terlebih, saat ini, kata Nirwono, reklamasi yang ada telah menimbulkan gejolak, paska penangkapan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Muhammad Sanusi oleh KPK dua pekan lalu.
Sebagai tindak lanjutnya, Pemprov DKI sudah sewajarnya melakukan penghentian pembangun. Namun kalau pun pulau itu sudah terbentuk, maka fungsi pulau bisa dialihkan, dari membangun hunian, menjadi kawasan RTH seperti pembangunan hutan dan pulau lindung. Termasuk membangun kembali kawasan hutan mangrove yang mengalami penyusutan dari 32 kilometer menjadi 3 kilometer.
Memang dengan pengalihan fungsi itu, konflik baru akan muncul. Para pengembang akan melakukan gugatan secara besar-besar kepada pemprov. Kondisi demikian, kata Nirwono, tak perlu ditakuti. Lantaran dengan sikap demikian, pemprov akan semakin diuntungkan dengan kembali melakukan kajian terhadap pemenang tender.
“Jadi akan terlihat bagaimana pemilik proyek bisa menangkan tender, kita cek amdal, ijin, mendapatkan pasir, maupun lain-lain. Kalo ijin, yang jelas setahu saya raperda aja belum ada, gimana mendapatkan izin,” jelasnya.
Anggota DPRD DKI dari Partai Nasdem, Inggard Joshua mengatakan, pihaknya telah memprediksi reklamasi ini akan jadi masalah sejak setahun lalu. Ibarat seorang bayi, kata Inggard, reklamasi tidak diketahui surat-suratnya.
Terlebih dalam kasus ini, Inggard menilai adanya kesalahgunaan wewenang, terlebih pembangunan yang telah terjadi mengkesampingkan pembangunan di bandingkan raperda. Alasan karena urgensi pun tak cukup mendasar pembangunan kawasan di utara jakarta ini.
“Mungkin kalau secara prosedural, mungkin ruang gerak untuk korupsi menjadi terbatas. Seperti sekarang,” jelasnya. (Baca: Ahok Tantang Menteri Susi Hentikan Reklamasi Teluk Jakarta)
Ia pun setuju, mengingat banyak masalah demikian, sudah sewajar Pemprov DKI Jakarta menghentikan proyek ini. Terlebih dalam proyek ini, beberapa masyarakat juga sangat dirugikan.
Sesuai dengan pernyataan KPK yang menyatakan reklamasi merupakan korupsi besar, Inggard pun mengamini hal itu. Bahkan ia meyakini korupsi yang ada tidak hanya pada legislatif, Pemprov DKI Jakarta sebagai Eksekutif kuat kemungkinan terlibat. Karena kuat kemungkinan tak hanya Sanusi saja yang bermain.
“Memang kapasitas Sanusi apa? Ini kan bukan Sanusi Ketua Komisi D-nya. Tapi anggota Balegda (Badan Legislatif Daerah),” pungkasnya.
(mhd)