Jakarta, Beritasatu.com – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan hasil pemeriksaan perencanaan dan penggunaan penerimaan pungutan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memuat sembilan permasalahan. Berkaitan itu, sejumlah pengamat mengimbau OJK menindaklanjuti temuan BPK tersebut dengan semangat efisiensi. Selain itu, OJK diminta menyusun anggaran berbasis kinerja (performance based budget).
Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2018 BPK, secara keseluruhan, hasil pemeriksaan perencanaan dan penggunaan penerimaan pungutan OJK mengungkapkan empat temuan yang memuat sembilan permasalahan.
Permasalahan tersebut meliputi tujuh kelemahan sistem pengendalian intern (SPI), satu ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, dan satu permasalahan aspek ekonomis, efisiensi, dan efektivitas (3E).
Pungutan adalah sejumlah uang yang wajib dibayar oleh pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, baik lembaga jasa keuangan dan/atau orang perorangan atau badan. Pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK seperti yang diamanatkan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK (UU OJK). UU tersebut mengamanatkan OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan secara akuntabel dan mandiri.
Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa perencanaan dan penggunaan penerimaan pungutan tahun 2016-2018 telah dilaksanakan sesuai dengan UU OJK, serta ketentuan terkait penyusunan dan pelaksanaan anggaran, dalam semua hal yang material, kecuali atas beberapa permasalahan. Simpulan tersebut didasarkan atas kelemahan-kelemahan yang terjadi, baik pada aspek pengendalian intern, ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan maupun aspek 3E.
Pengamat perbankan dari Indonesia Banking School (IBS) Batara Simatupang mengatakan temuan BPK seharusnya ditindaklanjuti dengan semangat efisiensi oleh OJK. Pada level manajemen puncak, momentumnya pada dua dimensi utama masalah organisasi, yakni masalah efisiensi dan masalah produktivitas.
“Apabila merujuk pada semangat efisiensi, roadmap anggaran seyogyanya harus dilakukan dengan optimal, sehingga dalam pandangan BPK ini terjadi inefisiensi. Temuan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan OJK,” kata Batara ketika dihubungi Investor Daily, Selasa (11/6/2019).
Batara menambahkan, di sisi lain, masalah produktivitas, jika hal tersebut yang mau ditingkatkan, maka sangat terkait dengan optimalisasi anggaran. “Apakah ruang yang disewa memang sudah ada peruntukan pemakaiannya? Apabila belum, mungkin ada variabel lain yang menjadi alasan kunci dalam keputusan dimaksud. Kalau ditanya adakah yang harus diperbaiki di OJK, jawabnya adalah ada, terutama pada produktivitas pengawasan dan rasio pengawas terhadap yang diawasi, masih sangat rendah,” terang Batara.
Apabila memang OJK kekurangan sumber daya manusia (SDM), perlu perekrutan untuk memenuhi rasio ideal. Sebab, fungsi OJK sebagai mengatur, mengawasi, dan melindungi harus berjalan dengan baik. Dia juga menilai, jangan sampai OJK sebagai panutan justru mengalami malfunctiondalam tugasnya, terutama pada perkembangan industri financial technology(fintech) yang tidak terkendali, sehingga menimbulkan masalah hukum.
“Dan jangan pula institusi yang diatur dan diawasi lebih baik dari OJK. Atau, bahkan ada institusi yang menjalankan bisnis, malah tidak ada aturan dan atau mekanisme kontrolnya,” jelasnya.
Pengamat perbankan Paul Sutaryono menambahkan secara umum penyusunan anggaran sudah seharusnya berbasis kinerja. Dengan demikian, besaran anggaran tidak akan terlalu longgar dan juga sebaliknya tidak terlalu sempit bagi OJK untuk menggunakan anggaran.
Jika anggaran terlalu longgar atau besar, lanjut Paul, akan membuat unit-unit pelaksana anggaran tidak termotivasi untuk menggunakannya dengan cermat. “Ujungnya anggaran digunakan secara tidak efektif atau boros, seperti sewa ruangan yang melebihi kapasitas unit kerjanya sehingga ruangan tidak terpakai,” kata Paul.
Senada dengannya, ekonom Indef Bhima Yudhistira menyebutkan bahwa biaya operasional OJK memang perlu dipangkas. Terdapat tiga hal yang perlu diperbaiki OJK. Pertama, terkait biaya administrasi seperti sewa gedung harus dievaluasi. Kedua, realokasi pegawai, belanja pegawai yang cukup jumbo bisa diatur kembali. Ketiga, besaran pungutan OJK ke bank sebaiknya diturunkan, sebagai insentif juga bagi bank yang mau merger dan akuisisi.
Selain itu, Bhima mengungkapkan, pembangunan gedung perwakilan OJK di daerah yang baru sebaiknya ditunda.
Tanggapan OJK
Dihubungi secara terpisah, Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan pihaknya memiliki alasan tidak menempati semua gedung yang disewa. “Karena asumsinya sudah berubah, untuk menghindari rent trap dan terdapat peluang untuk lebih berhemat,” kata Anto kepada Investor Daily, Selasa (11/6).
Di sisi lain, Anto menjelaskan, semua rekomendasi BPK akan diikuti dan dalam lima kali berturut-turut laporan keuangan OJK dinilai wajar tanpa pengecualian (WTP).
“Pengelolaan keuangan OJK bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, jika ada penilaian inefisien tidak pengaruh kepada opini dan penjelasan OJK disampaikan secara transparan kepada BPK,” katanya.
Anto menambahkan, OJK terus melakukan perbaikan dan melakukan penghematan anggaran, bahkan dengan berhemat selama dua tahun ini OJK bisa membeli tiga lokasi tanah di Yogyakarta, Solo, dan Mataram, sedang proses pembangunan dan dua gedung yang sudah dipakai di Malang dan Semarang.
Terkait dengan besaran pungutan, Anto mengatakan, OJK tidak mengatur besaran dari pungutan dari industri jasa keuangan. Besaran pungutan yang diterima OJK tiap tahun sekitar Rp 4-5 triliun.
Sementara itu, Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot menjelaskan sebagai organisasi yang baru dibentuk dan operasional sejak tahun 2012, OJK senantiasa memperhatikan dan melaksanakan rekomendasi temuan audit BPK untuk peningkatan pelaksanaan good governance dalam administrasi dan pertanggungjawaban keuangan yang bersumber dari pungutan dan/atau APBN, termasuk dalam periode audit yang diberitakan pada tahun 2016-2018. Upaya perbaikan secara berkesinambungan tercermin dari predikat WTP untuk laporan keuangan OJK dalam lima tahun terakhir.
“OJK saat ini menyusun ulang roadmap pemenuhan gedung, mengingat sejak berdiri OJK tidak dilengkapi dengan sarana perkantoran milik sendiri, sehingga untuk memiliki gedung yang mandiri harus menyesuaikan dengan anggaran OJK dan bersumber dari langkah efisiensi pelaksanaan kegiatan OJK setiap tahun,” kata Sekar.
Sementara itu, untuk pemanfaatan aset tanah yang telah dibeli dalam periode 2016 sampai dengan 2017, persiapan telah dilakukan tahun 2018. Selanjutnya pembangunan kantor OJK di Yogyakarta, Solo, Mataram (NTB), dan Papua, akan dimulai pada Juni 2019 yang diharapkan akan selesai tahun 2019 dan 2020.
Sedangkan terkait pemenuhan gedung kantor pusat, saat ini telah ditandatangani MOU menteri keuangan dan ketua DK OJK pada 2 April 2019 untuk dibangun Indonesia FInancial Center sebagai kantor pusat OJK. Diharapkan proses persiapan pembangunan akan dilakukan dengan sistem design and build – turnkey mulai Juni 2019.
“OJK mendapat dukungan dari gubernur DKI untuk proses perizinan dapat diprioritaskan untuk gedung dengan standar ramah lingkungan platinum. Dengan demikian, OJK akan terlepas dari ketergantungan sewa gedung yang telah dilakukan sebelumnya di Menara Merdeka dan Wisma Mulia. OJK telah menggunakan Wisma Mulia 2 (dipindahkan dari Menara Merdeka) dan juga masih menempati kantor yang dipinjam pakai oleh Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia,” katanya.
Untuk pengajuan anggaran kepada DPR, kata dia, sejak pengajuan anggaran OJK tahun 2019 telah disesuaikan dengan rekomendasi OJK, sehingga dapat diajukan anggaran berdasarkan data pendukung yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai kebutuhan.
Permasalahan Utama
Permasalahan utama pengendalian intern dalam perencanaan dan penggunaan penerimaan pungutan OJK adalah perencanaan kegiatan tidak memadai, SOP belum berjalan optimal, pelaksanaan kebijakan mengakibatkan peningkatan biaya, dan penyimpangan terhadap peraturan tentang pendapatan dan belanja.
Perencanaan kegiatan tidak memadai karena ada beberapa permasalahanan. Pertama, rencana kerja dan anggaran (RKA) tahun 2016, 2017, dan 2018 yang disampaikan kepada DPR tidak memiliki dasar perhitungan yang jelas dan akurat, serta perencanaan kegiatan dan penggunaan dana tidak memadai karena tiga departemen melakukan revisi kegiatan dan penggunaan dana yang nilainya cukup signifikan.
Kedua, data sumber dan perhitungan anggaran remunerasi tidak jelas dan melebihi kebutuhan OJK.
Ketiga, roadmap pemenuhan gedung kantor, keputusan sewa dengan opsi beli Wisma Mulia 1 dan sewa Wisma Mulia 2, serta penyediaan gedung kantor daerah tidak didukung dengan perhitungan kebutuhan luasan gedung kantor yang jelas dan kemampuan penyediaan dana OJK
Keempat, Departemen Keuangan tidak melakukan penelaahan/review RKA satuan kerja yang disampaikan kepada Kementerian Keuangan.
Kelima, departemen organisasi dan SDM tidak mempunyai perincian perhitungan pembentuk nilai anggaran remunerasi
Keenam, pelaksanaan kebijakan mengakibatkan peningkatan biaya. Keputusan Dewan Komisioner OJK untuk menyewa gedung Wisma Mulia 1 dan Wisma Mulia 2, tetapi kemudian hanya memanfaatkan sebagian gedung Wisma Mulia 2 mengakibatkan pengeluaran uang untuk sewa gedung Wisma Mulia 1 dan sebagian gedung Wisma Mulia 2 tidak bermanfaat.
Ketujuh, penyimpangan terhadap peraturan tentang pendapatan dan belanja. Terdapat perbedaan pagu anggaran per bidang antara anggaran dalam petunjuk operasional kegiatan (POK) dengan persetujuan DPR dalam laporan singkat rapat kerja Komisi XI DPR dengan Dewan Komisioner OJK.
Selain itu, ada dua permasalahan utama ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan atas perencanaan dan penggunaan penerimaan pungutan OJK. Pertama, OJK tidak menganggarkan pembayaran kewajiban PPh badan pada RKA awal tahun 2016 dan 2017, hanya dianggarkan pada akhir tahun 2017 sebagai hasil optimalisasi anggaran dan RKA tahun 2018. Namun penganggaran tersebut tidak sebesar utang PPh Badan OJK.
Kedua, sewa gedung Wisma Mulia 1 dan pembelian tanah di Papua, Solo, dan Yogyakarta belum dimanfaatkan untuk menunjang operasional OJK.
Permasalahan tersebut mengakibatkan, antara lain RKA OJK tahun 2016, 2017, dan 2018 yang disampaikan kepada DPR tidak menunjukkan kebutuhan riil OJK dan terdapat kekurangan penerimaan negara atas ketidaktaatan pembayaran PPh badan oleh OJK.
Penyusunan dan penetapan anggaran remunerasi melebihi kebutuhan, sehingga anggaran untuk kegiatan OJK lainnya tidak terpenuhi, antara lain anggaran untuk kegiatan utama OJK, sehingga pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan tidak optimal. Roadmap untuk memiliki gedung kantor berpotensi tidak tercapai. Pagu anggaran pada bidang manajemen strategis I sebesar Rp 2,53 triliun melebihi anggaran yang disetujui DPR dan melanggar UU OJK. Gedung Wisma Mulia 1 serta tanah di Papua, Yogyakarta, Solo, dan Mataram menjadi terbengkalai dan tidak dapat segera dimanfaatkan.
Rekomendasi BPK
Berkaitan itu, BPK merekomendasikan kepada Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso agar memerintahkan deputi komisioner sistem informasi dan keuangan dan kepala departemen keuangan beserta jajarannya, untuk menyusun anggaran sejak tahun anggaran 2019 berdasarkan data pendukung yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan serta sesuai dengan kebutuhan.
BPK memerintahkan semua deputi komisioner dan jajarannya agar menyusun anggaran sejak tahun anggaran 2019, dengan menggunakan data realisasi anggaran tahun berjalan dan proyeksi tahun anggaran berikutnya, serta memperbaiki roadmap pengadaan gedung kantor sesuai dengan kebutuhan dan sumber anggaran yang jelas.
BPK juga merekomendasikan OJK merevisi pagu anggaran per bidang dalam POK sesuai dengan persetujuan DPR, serta memerintahkan deputi komisioner dan kepala departemen keuangan untuk menganggarkan PPh badan OJK sesuai dengan peraturan perpajakan, serta menyampaikan laporan kepada BPK tentang alasan formal tidak digunakannya aset-aset yang telah dimiliki atau dikuasai oleh OJK.