www.monitorindonesia.com, Senin, 19 Juni 2023
Monitor
Puluhan Hektare lahan fasos fasum kewajiban pengembang pemegang Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) di Jakarta Timur tidak dapat dieksekusi atau dikuasai oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Fasos fasum tersebut adalah kewajiban pemegang SIPPT tersebut yang harus diserahkan ke pemerintah provinsi DKI Jakarta jika pengembang hendak melakukan aktivitas pembangunan di lokasi tanah seluas di atas 5000 meter2.
Besaran fasos fasum yang ditetapkan sebesar 5% dari luasan tanah yang dikuasai. Dan ketentuan mengikat ini adalah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi pengembang untuk dapat melanjutkan Perijinan berikutnya seperti IMB dan lainnya.
Sayangnya oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta tidak pernah konsisten dengan peraturan yang dibuat sendiri. Sangat banyak kelonggaran dan kemudahan yang diberikan kepada pengembang atau konglomerat pemilik tanah yang sangat luas.
Mengacu pada ketentuan tata cara perolehan SIPPT ditegaskan bahwa pengembang diwajibkan memenuhi banyak kewajibannya ke Pemprov DKI sebelum pihak pengembang menjalankan usahanya dan pengembangan pembangunan di lokasi tanah tersebut.
Dari data yang diperoleh Monitor Indonesia, khusus untuk wilayah Jakarta Timur hingga tahun 2017 terdapat 48 pengembang pemegang SIPPT belum menyerahkan fasos fasum kewajibannya ke Pemprov DKI.
Wali Kota sebagai ketua tim TP3W yang diberikan kewenangan menagih fasos fasum tersebut dibantu instansi lainnya hingga kini tidak berhasil mendapatkan Asset daerah tersebut.
Dari hitungan data-data yang diperoleh bahwa tidak kurang dari 10 Ha lahan Fasos Fasum tersebut masih dikuasai oleh pengembang.
Sekalipun Tim Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan Wilayah (TP3W) tersebut memanggil rapat pihak pemegang SIPPT tersebut namun oleh konglomerat tidak menghiraukannya. Buktinya Wali Kota tidak pernah mengeksekusi paksa dari pengembang yang membandel.
Dari penelusuran Monitor Indonesia bahwa pemegang SIPPT tersebut terdiri dari beberapa jenis diantaranya, Yayasan Pendidikan, puluhan Pabrik, Perusahaan Penangkaran Ikan Ekspor Arwana dan kawasan militer.
Wali Kota Jakarta Timur Muhammad Anwar sebagai ketua TP3W yang dimintai wawancara dan konfirmasinya tidak merespons. Anwar hanya membaca tiap kali pesan dikirimkan ke WhatsApp-nya. Begitu pun telepon wartawan tidak pernah mau meresponsnya.
Diketahui bahwa yang berhak menagih kewajiban fasos fasum SIPPT adalah Wali Kota cq. Bagian Lingkungan Hidup dan Dinas Citata (Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Agraria).
Begitu juga Heru Hermawanto yang dimintai penjelasannya tidak juga bergeming.
Dari kebiasaan pemprov DKI yang tak kunjung diperbaiki ini wajar saja kalau setiap tahun dalam temuan BPK Asset pemprov DKI dari fasos fasum ini selalu jadi temuan namun oleh Pemprov DKI hal ini tidak pernah dijadikan prioritas menyelesaikannya.
Mirisnya lagi, setelah munculnya Perda No 1 Tahun 2014 Tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) DKI Jakarta, yang implikasinya banyak perusahaan yang sudah puluhan tahun beroperasi tersebut harus hengkang dari DKI Jakarta.
Sehingga kalangan pengusaha banyak yang menjual tanahnya dan relokasi usaha ke wilayah di luar Jakarta. Lalu fasos fasumnya tidak bisa lagi ditagih oleh Pemprov DKI Jakarta.
Muncullah akal bulus pemilik SIPPT menjual lahannya dengan cara memecah luasan dan kepemilikan di bawah 5000 meter2 untuk menghindari kewajiban fasos fasumnya.
Dengan kenyataan seperti itu, muncul juga dugaan adanya main mata oknum oknum yang memiliki otoritas soal ini main mata dengan pemegang SIPPT. Alhasil Pemprov DKI Jakarta gigit jari. Tapi oknum oknumnya yang memainkan strategi bulus tersebut berpesta pora. (Sabam Pakpahan)