22 April 2015
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan masalah yang mengakibatkan kerugian Negara senilai Rp1,42 triliun, potensi kerugian Negara senilai Rp3,77 triliun, dan kekurangan penerimaan senilai Rp9,55 triliun. Hal tersebut disampaikan Ketua BPK, Harry Azhar Azis pada penyerahan IHPS dan LHP Semester II 2014 kepada Presiden RI, Joko Widodo pada hari Selasa, 21 April 2015 di Istana Negara, Jakarta.
Temuan itu berdasarkan pemeriksaan BPK terhadap 651 objek pemeriksaan, terdiri atas 135 objek pada pemerintah pusat, 479 objek pemerintah daerah dan BUMD, serta 37 objek BUMN dan badan lainnya. Berdasarkan jenis pemeriksaannya, 73 objek pemeriksaan keuangan, 233 pemeriksaan kinerja, dan 345 pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Ketua BPK juga mengungkapkan bahwa, BPK menemukan masalah dalam pengelolaan penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi di kementerian keuangan. Masalah tersebut diantaranya penerimaan pajak dan migas senilai Rp1,124 triliun yang terdiri atas: potensi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) migas terutang minimal sebesar Rp666,23 miliar dan potensi kekurangan penerimaan PBB migas tahun 2014 minimal sebesar Rp454,38 miliar. BPK menemukan juga ketidakpatuhan KKKS terhadap ketentuan cost recovery, yang mengakibatkan kekurangan penerimaan Negara senilai Rp6,19 triliun.
Di sisi lain, dalam periode 2010-2014, BPK telah menyampaikan 215.991 rekomendasi senilai Rp77,61 triliun kepada entitas yang diperiksa yang baru diindaklanjuti 55, 54 % atau sebanyak 120.003 rekomendasi. “Jadi, dari 2010 hingga 2014 baru 55% yang ditindaklanjuti, sisanya kita minta supaya presiden melalui menteri keuangan dan menteri dalam negeri merespon,” ungkap Ketua BPK. BPK juga telah menyampaikan temuan pemeriksaan yang mengandung unsur pidana kepada instansi yang berwenang atau penegak hukum sebanyak 227 surat yang memuat 442 temuan senilai Rp43,83 triliun.
Sementara itu, khusus pemeriksaan kinerja atas efektivitas layanan paspor pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), BPK menyimpulkan telah cukup efektif dalam pelayanan paspor, namun BPK menemukan adanya masalah dalam perubahan mekanisme pembayaran berupa pembayaran elektronik dengan Payment Gateway (PG) yang mengabaikan risiko hukum.