MAKI Kembali Gugat Praperadilan Kasus Lahan di Cengkareng

Detik.com, Jumat, 19 Februari 2021

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) kembali mengajukan gugatan praperadilan terkait kasus korupsi lahan Cengkareng, Jakarta Barat. Praperadilan itu diajukan terhadap Kapolda Metro Jaya terkait tidak sahnya penghentian penyidikan (SP3).

“Melalui surat ini hendak mengajukan permohonan pemeriksaan praperadilan tidak sahnya penghentian penyidikan secara materiil pada tindak pidana korupsi pembelian tanah di Cengkareng oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta,” ujar Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, dalam keterangannya, Jumat (19/2/2021).

Ia mengajukan praperadilan terhadap Kapolda Metro Jaya sebagai termohon I, Kajati DKI Jakarta termohon II, Ketua Komisi Kepolisian Nasional termohon III, Ketua KPK termohon IV. Sebelumnya gugatan praperadilan serupa juga telah dilayangkan, tetapi hakim menolak gugatan tersebut.

Namun, MAKI kembali mengajukan gugatan praperadilan karena dianggap kasus tersebut tidak berlanjut. Sidang perdana gugatan tersebut diagendakan pada Senin (22/2) mendatang.

“Praperadilan lahan Cengkareng sidang perdana besok Senin. Selama belum dikabulkan ya gugat terus menerus. Praperadilan Century dulu menang setelah 6 kali,” ujarnya.

Boyamin mengatakan alasannya mengajukan gugatan itu karena pada sekitar tahun 2015, Dinas Perumahan dan Gedung Perkantoran Provinsi DKI Jakarta melakukan pembelian lahan seluas 46 hektar yang direncanakan untuk pembangunan rumah susun, dengan harga Rp 668 Miliar dengan dana yang bersumber dari dana Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta. Kemudian berdasarkan audit BPK dalam LHP keuangan Pemprov DKI tahun 2015, lahan yang dibeli Pemprov DKI Jakarta tersebut ternyata tercatat sebagai aset milik Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atau dengan kata lain, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengeluarkan dana yang bersumber dari dana APBD untuk membeli tanahnya sendiri, namun uang dari dana APBD tersebut diberikan kepada pihak lain.

Selanjutnya kasus tersebut ditangani Bareskrim Polri dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan Agung pada 29 Juni 2016, tetapi tak disertai nama tersangkanya. Kemudian kasus tersebut dilimpahkan ke Polda Metro Jaya. Akan tetapi, Boyamin menyebut hingga permohonan aquo diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tidak terdapat tersangka dari baik dari penyidikan yang dilakukan Bareskrim Polri maupun penyidikan yang dilakukan oleh Termohon I Kapolda Metro Jaya.

Lebih lanjut, Boyamin menyebut hingga permohonan praperadilannya diajukan ke PN Jaksel, Kapolda Metro Jaya maupun Kajati DKI Jakarta tidak segera mengajukan berkas perkaranya untuk dilakukan penuntutan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian, KPK juga tak kunjung mengambil alih kasus tersebut.

“Dengan berlarut–larutnya penanganan atas pokok perkara korupsi pembelian tanah cengkareng, sudah seharusnya diambil alih oleh Termohon IV. Hal mana tidak juga dilakukan oleh Termohon IV,” ujarnya.

MAKI menyoroti mandegnya kasus tersebut belum ada perkembangan kasus. Ia menduga hal itu karena terjadi saat Gubernur DKI Jakarta dijabat Basuki Tjahja Purnama.

“Penyidikan yang dilakukan Para Termohon atas perkara tindak pidana korupsi aquo diduga kuat disebabkan karena melibatkan Gubernur Propinsi DKI Jakarta, Ir. Basuki Tjahja Purnama yang memberikan disposisi penentuan lokasi dan persetujuan pencairan anggaran. Padahal sebagai pimpinan daerah tertinggi, seharusnya berhati–hati dalam mengeluarkan persetujuan pencairan uang negara dalam jumlah yang sangat besar. Jika Gubernur Provinsi DKI Jakarta tidak menerbitkan disposisi, maka dana APBD tersebut tidak akan dapat dicairkan. Apalagi untuk pembelian tanah, haruslah atas persetujuan dari Kepala Daerah,” ujarnya.

Ia membandingkan dalam kasus tindak pidana korupsi pembangunan jalan lingkar luar atau Gorontalo Outer Ring Road (GORR), dimana tanah yang dibebaskan untuk pembangunan jalan, sepanjang 22 km diantaranya adalah merupakan tanah negara, sehingga seharusnya tidak dilakukan pembayaran atas tanah negara tersebut. Terhadap kasus ini, dalam jangka waktu kurang dari 2 tahun Kejaksaan Tinggi Gorontalo telah menetapkan 4 pejabat sebagai tersangka untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

“Bahwa dengan demikian, secara diam–diam, para Termohon telah terbukti menghentikan penyidikan atas tindak pidana korupsi pembelian tanah di Cengkareng, Jakarta Barat oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan cara tidak segera menetapkan tersangka atas tindak pidana tersebut,” ujarnya.

Boyamin meminta agar hakim mengabulkan permohonannya. Serta menyatakan termohon I, II,III melakukan penghentian perkara secara diam–diam, serta meminta hakim memerintahkan KPK mengambil alih kasus tersebut.

“Memerintahkan Termohon I dan Termohon II melimpahkan berkas perkara dan barang bukti kepada Termohon IV,” ujar Boyamin.

Kasus pembelian lahan di Cengkareng, Jakbar ini bermula pada tahun tahun 2015, Pemprov DKI Jakarta melakukan pembelian lahan seluas 46 hektar yang direncanakan untuk pembangunan rumah susun, dengan harga Rp 668 miliar dengan dana yang bersumber dari dana Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta. Padahal tanah itu disebutkan milik Pemprov DKI, namun pembelian dilakukan Dinas Perumahan pada seseorang yang mengaku memiliki lahan itu.

Pembelian lahan itu mendapat sorotan dari Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku Gubernur DKI saat itu. Ahok menuding ada mafia dalam pembelian tanah itu. Ia meminta BPK melakukan audit.

BPK kemudian melakukan klarifikasi terkait pembelian lahan oleh Pemprov DKI untuk Rusun di Cengkareng Jakarta Barat. BPK menilai ada dugaan pembelian yang menyimpang dan berpotensi merugikan negara.

“Potensi ada di laporan itu. Yang harus dibuktikan, apakah benar ada pengadaan tanah Cengkareng itu menyimpang, tidak sesuai dengan ketentuan dan menimbulkan kerugian negara. Nah tim, akan mencari siapa yang melakukan apa dan seberapa besar kerugian itu,” jelas Kabiro Humas BPK Yudi Ramdan Budiman di kantornya di Jakarta, Senin 27 Juni 2016.

Kemudian, Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri menelusuri kasus pengadaan lahan di Cengkareng, Jakarta Barat. Penyidik menduga ada korupsi di pengadaan lahan di Cengkareng itu.

“Baru dugaan, diduga pada saat pengadaan tanah ada tindak pidana korupsi,” kata almarhum Brigjen Erwanto Kurniadi saat menjabat sebagai Wadir Tindak Pidana Korupsi Bareskrim dihubungi detikcom, Sabtu 16 Juli 2016.

“Kita lagi telusuri apakah tindak pidana korupsinya itu mark up lahan, terus kemudian apakah ada gratifikasi juga yang terkait dengan panitia pengadaan yang menerima sejumlah uang yang dilaporkan ke KPK. Apakah itu sedesain dengan pengadaan lahannya,” sambungnya.

Sejumlah pihak pun dimintai keterangan oleh Bareskrim terkait kasus itu termasuk Ahok dan Wakilnya saat itu, Djarot Saiful Hidayat. Namun, kasus itu tidak terdengar lagi pengusutan. Hingga akhirnya MAKI mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jaksel.