Jakarta, CNN Indonesia — Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama selalu menggunakan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta sebagai dasar hukum menerbitkan izin reklamasi bagi perusahaan. Pakar perkotaan Nirwono Joga menyebut, Ahok-sapaan Basuki, lucu karena masih menggunakan Keppres yang terbit 21 tahun lalu tersebut sebagai dasar hukum melegalkan reklamasi.
Yudi, sapaan akrab Nirwono Joga, menyatakan Keppres 1995 yang ditandatangani mendiang Presiden Soeharto itu bukan untuk meloloskan penerbitan izin reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta.
“Lucu itu. Karena pada zaman itu, Keppres terbit bukan untuk 17 pulau. Yang dimaksud reklamasi tahun 1995 itu adalah untuk kegiatan industri,” kata Yudi saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Rabu (13/4).
Yudi menjelaskan, kegiatan industri yang dimaksud yaitu reklamasi untuk pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok dan lebih kepada perluasan daratan. Perluasan daratan tersebut sangat berbeda konteks dengan menguruk laut seperti yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membuat 17 pulau di Teluk Jakarta.
(Baca: Indikasi Korupsi Aturan Reklamasi)
Ahok pun dianggap salah kaprah karena telah menyamakan substansi kepentingan reklamasi tahun 1995 dengan kebijakan dia saat ini. “Reklamasi dulu bukan untuk pengembang. Dulu itu, daratannya yang diperluas dengan menguruk laut. Kalau yang untuk 17 pulau sekarang ini, itu laut di tengah-tengah, diuruk untuk jadi daratan,” tutur Yudi.
Akademisi dari Universitas Trisakti ini menyatakan, reklamasi Teluk Jakarta mengadopsi ide yang dikembangkan dalam Palm Island di Uni Emirat Arab. Desain 17 pulau reklamasi pun mengalami banyak perubahan sejak awal dibuat.
“Awalnya mau bentuk burung garuda, supaya terkesan nasionalisme. Sampai akhirnya seperti sekarang muncul 17 pulau yang tidak berarturan. Menunjukkan bahwa ini lebih mengadopsi kepentingan pengembang, bukan kebutuhan rakyat,” tutur Yudi.
(Baca: Sengkarut Izin Reklamasi Jakarta)
Ahok selama ini memang selalu mengacu pada Keppres Nomor 52/1995 untuk membenarkan penerbitan izin bagi sembilan perusahaan pengembang reklamasi. Dua perusahaan yaitu PT Kapuk Naga Indah dan PT Muara Wisesa Samudra telah memulai proses reklamasi untuk Pulau C dan Pulau G.
Yudi sebelumnya meminta Pemprov DKI membatalkan pelaksanaan reklamasi untuk membuat 17 pulau di Teluk Jakarta. Pernyataan Yudi juga didukung oleh pakar perkotaan lainnya, Yayat Supriatna.
Menurut Yayat, aktivitas para pengembang reklamasi yang telah memulai proses pengurukan harus secara otomatis dihentikan setelah pembahasan dua raperda dibatalkan oleh DPRD DKI periode 2014-2019.
(Baca: Raperda Ditunda Reklamasi Terlunta)
“Kalau dihentikan, otomatis harus dihentikan juga di lapangan, walaupun ada yang sudah proses. Dibiarkan saja dulu, tidak masalah,” kata Yayat saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Bukan hanya para pakar perkotaan dan tata ruang, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti serta DPR RI juga sepakat untuk menghentikan proyek reklamasi.
(Baca: Ramai Aksi Tolak Reklamasi)
Dalam rapat kerja Kementerian Kelautan dengan Komisi IV DPR, Rabu (13/4), mereka menilai bahwa pembangunan reklamasi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
“Kami meminta pembangunan proyek reklamasi dihentikan sampai memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan,” kata Ketua Komisi IV Herman Khaeron di Gedung DPR.
Rekomendasi Komisi IV disetujui Susi dan memastikan akan menindaklanjuti permintaan tersebut. “Kalau tidak sepakat, saya enggak mungkin tanda tangan dong,” kata Susi. (rdk)