4 Kesaksian Prasetyo Edi di Sidang Kasus Rumah DP 0 Rupiah

www.detik.com, Selasa, 23 Januari 2024
Detik

Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi dihadirkan sebagai saksi sidang kasus dugaan korupsi pengadaan lahan untuk rumah DP Rp 0. Ada sejumlah hal yang disampaikan Prasetyo dalam sidang tersebut.
Sidang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (22/1/2024). Prasetyo bersaksi untuk tiga terdakwa, yakni mantan Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya, Yoory Corneles Pinontoan; pemilik manfaat PT Adonara Propertindo, Rudy Hartono; dan Direktur Operasional Tommy Adrian.

Sebagai informasi, Yoory dkk didakwa melakukan korupsi dan merugikan keuangan negara senilai Rp 256 miliar terkait pengadaan lahan di Cakung, Jakarta Timur, itu. Ini merupakan kasus ketiga yang menjerat Yoory terkait pengadaan lahan saat dirinya menjabat sebagai Dirut Perumda Sarana Jaya yang merupakan BUMD DKI Jakarta.

Berikut kesaksian Prasetyo Edi dalam sidang hari ini:

Ngaku Tak Tahu Pelaksanaan Rumah DP Rp 0
Jaksa awalnya mencecar Prasetyo soal apa yang diketahuinya terkait kasus dugaan korupsi yang menjerat Yoory. Prasetyo mengatakan dirinya mengetahui adanya penyertaan modal kepada Sarana Jaya.

Dia mengatakan program rumah DP Rp 0, yang dikerjakan oleh Sarana Jaya, menimbulkan pro dan kontra. Dia mengatakan Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta awalnya sempat mempertanyakan dasar dari program tersebut.

“Nah, setelah itu di sini yang dikatakan Tri Wisaksana (mantan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta) ada pro dan kontra. Karena buat Fraksi kami PDI Perjuangan kok pada saat itu tidak rasional rumah DP Rp 0. Dasarnya dari mana, dasarnya apa,” jelas Prasetyo.

Jaksa lalu terus mencecar Prasetyo terkait pelaksanaan program rumah DP Rp 0 itu. Prasetyo pun mengaku tak tahu apakah program itu sudah terlaksana atau belum.

“Rumah DP Rp 0 terlaksana nggak?” tanya jaksa.
“Yang saya lihat sih nggak tahu, Pak, nggak terjadi sampai sekarang,” jawab Edi.
“Padahal udah dikucurkan Rp 900 miliar itu uangnya setahu saksi ke mana?” tanya jaksa.
“Saya nggak ngerti, Pak,” jawab Edi.

Bandingkan dengan KJP dan Rusunawa
Dia juga membandingkan program di Pemprov DKI Jakarta yang sempat menuai pro dan kontra. Dia mengungkit program Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang digagas Joko Widodo saat masih menjadi Gubernur DKI Jakarta.

“Fraksi PDIP menolak tapi kelembagaan di DPRD akhirnya disetujui?” tanya jaksa.
“Karena gini juga, Pak, ilustrasinya dulu Pak Gubernur, Pak Foke, Pak Jokowi, jadi Gubernur punya satu terobosan namanya Kartu Jakarta Pintar, Kartu Jakarta Sehat. Nah ada juga pro dan kontra pembahasan menolak itu tapi kami tetap berjalan akhirnya KJP, KJS diterima masyarakat,” ujar Prasetyo.

Dia juga membandingkan program rumah DP Rp 0 dengan pembangunan rumah susun di Jakarta. Dia mengatakan program rumah DP Rp 0 memiliki kesamaan dengan pembangunan rumah susun.

“Begitu pun juga ini kan Pak Anies mengajukan satu program yang mana mungkin itu meneruskan dari pemerintah sebelumnya. Bagaimana Jakarta ini tidak macet, bagaimana Jakarta ini tidak banjir masyarakatnya bisa jangan sampai kena banjir, itu kan berkesinambungannya sama rumah susun Pak,” ujar Prasetyo.
“Pokoknya bangun rumah susun sebanyak-banyaknya untuk masyarakat itu tinggal di situ. Mungkin di sini lain caranya lagi buat lah DP Rp 0. Sebetulnya sama tujuannya,” sambungnya.

Jaksa lau mencecar Prasetyo soal keberhasilan rumah DP Rp 0 dengan rumah susun. Prasetyo mengatakan program DP Rp 0 menyertakan sejumlah syarat bagi warga yang ingin membeli rumah.

“Sebetulnya untuk rumah susun berhasil rumah DP 0 rupiah tidak berhasil?” tanya jaksa.
“Kalau DP 0 rupiah itu kan harus ada turunannya berapa gaji kamu, berapa kemampuan kamu, semuanya kan harus rasional,” jawab Edi.
Bicara Program Terobosan Anies-Sandi
Prasetyo juga bercerita tentang proses penyertaan modal. Dia mengatakan DPRD DKI menyetujui perubahan anggaran karena ada keinginan dari Gubernur DKI saat itu, Anies Baswedan, untuk melaksanakan program rumah DP Rp 0.

“Masalah penyertaan modal Pak Gubernur itu kan menyiapkan aturan perubahan anggaran, ada perubahan anggaran yang diinginkan Pak Gubernur, revisi anggaran, perda dengan Sarana Jaya mendapatkan Rp 1 triliun,” jawab Prasetyo.

Sebagai informasi, Yoory selaku Direktur Utama Sarana Jaya saat itu mengajukan permohonan pemenuhan kecukupan modal perusahaan tahun 2018 kepada Gubernur DKI untuk dianggarkan dalam APBD-P Pemprov DKI Jakarta TA 2018. Anggaran itu sejumlah Rp 935.997.229.164 (Rp 935 miliar).

Jaksa lalu mempertanyakan pengawasan Prasetyo sebagai Pimpinan DPRD dalam suntikan dana hampir Rp 1 triliun kepada Perumda Pembangunan Sarana Jaya. Jaksa mencecar alasan dana tersebut diserahkan kepada BUMD bukan dinas terkait.

“Yang kami pertanyakan sudah ada penambahan modal, tapi tidak ada wujudnya. Itu kan bisa saja diserahkan ke Dinas Permukiman, tapi kenapa ke PPSJ?” tanya jaksa.

“Karena gini, BUMD hidup kan kita beri penyertaan modal harus kasih deviden ke kita. Kalau di nasional ada BUMN. Makanya kita kasih ke JakPro, Sarana Jaya dan lain-lain. Nah itu harus menghasilkan balik ke kita, sedangkan kalau kita pakai uang rakyat juga kita kumpulkan ini kalau nggak digerakkan juga ini uang jadi diem juga nggak berkembang. Mungkin itu pemikiran pemerintah daerah saat itu,” ujar Prasetyo.

Jaksa kembali mencecar Prasetyo perihal alasan suntikan dana tersebut akhirnya disahkan. Prasetyo mengaku saat itu menghargai terobosan dari Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam program rumah DP Rp 0.

“Jadi motivasi kenapa digolkan penambahan modal ke PPSJ itu apa? Kalau analisis ekonomi tidak memungkinkan kok pada akhirnya disetujui apa dasarnya?” tanya jaksa.

“Menurut saya saat itu saya menghargai terobosan daripada Pak Anies dan Pak Sandi tapi dengan catatan,” jawabnya.

Anggap Perumda Harus Hasilkan Profit
Prasetyo juga terlibat perdebatan panas dengan pengacara Yoory. Perdebatan itu terkait apakah Perumda Sarana Jaya harus menghasilkan profit atau keuntungan dari program DP Rp 0 atau tidak.

“Perumda itu core business-nya harus profit apa nggak?” tanya pengacara Yoory.
“Harus profit, Pak, kalau Perumda itu,” jawab Prasetyo.

Pengacara Yoory lalu membacakan PP Nomor 554 Tahun 2017 Pasal 8 terkait pendirian perusahaan umum daerah. Dalam aturan itu tim pengacara Yoory menyoroti Perumda yang tidak diwajibkan mengambil keuntungan.

“Ini saya bacain PP, supaya Bapak tahu. Ini apa Nomor 554 Tahun 2017 di Pasal 8 pendirian perusahaan umum daerah diprioritaskan dalam rangka menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan harkat hidup masyarakat sesuai kondisi karakteristik daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik,” kata pengacara Yoory.

“Jadi Perumda itu tidak harus profit, itu yang penting punya kemanfaatan. Jadi kalau DP 0 persen tadi Bapak sampaikan di persidangan ini harus profit, nggak harus profit, Pak, yang penting masyarakat merasakan manfaatnya,” sambungnya.

Prasetyo membantah ucapan pengacara Yoory. Prasetyo menyebutkan Perumda Pembangunan Sarana Jaya harus meraup laba karena sudah ada suntikan dana yang diberikan Pemprov DKI Jakarta.

“Kalau mengacu ke aturan Bapak yang katakan itu kan kita memberi modal juga ke Sarana Jaya. Apa gunanya BUMD yang ada di Jakarta yang ada di pemerintah daerah. Sekali lagi, kayak JakPro, kita kasih penganggaran,” kata Prasetyo.

Perdebatan makin panas. Pihak pengacara Yoory mengatakan proyek rumah DP Rp 0 tidak harus menghasilkan profit karena Perumda Pembangunan Sarana Jaya bukan Persero. Dia juga mengatakan proyek itu dibuat untuk dimanfaatkan warga.

“Kalau Perumda itu tidak boleh profit, Pak, untuk kemanfaatan umat. Bapak tahu kalau PMD ini disahkan di Banggar? Kalau disahkan berarti prosedur sudah sesuai ketentuan?” tanya pengacara Yoory.

“Tapi pada saat itu ada catatan,” jawabnya Prasetyo.
“Catatannya apa?” cecar pengacara Yoory.
“Ya yang saya jelaskan tadi masalah DP Rp 0 alasannya gimana dengan pemikiran UMR ini kan nggak sampai Rp 7 juta,” ujar Prasetyo.
“Untuk kemanfaatan, bukan profit, Pak,” balas pengacara Yoory.

Hakim lalu menengahi perdebatan. Hakim menyebut Perumda tidak diharamkan untuk meraih keuntungan.

“Saya tengahi, ya, jadi Perumda memang titik beratnya ke arah penyedia sarana prasarana untuk kebutuhan masyarakat tapi tidak diharamkan untuk ambil profit. Karena dia juga dibebani untuk memberikan pemasukan ke daerah. Keuntungannya sebagian dimasukkan ke kas daerah,” katanya.