Menyalahkan E-Budgeting Hingga Mundurnya Pejabat DKI

Jakarta, Beritasatu.com – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menilai cukup banyaknya anggaran janggal dalam dokumen KUA-PPAS 2020, adalah diakibatkan sistem penganggaran elektronik atau e-budgeting yang dipakai sejak era gubernur Jakarta sebelumnya, Basuki Tjahja Purnama (Ahok).

Menurut Anies, sistem penganggaran “warisan” tersebut tidak “smart” karena tidak bisa mencegah atau bahkan walau hanya mendeteksi karena mengandalkan verifikasi manual, walau sistemnya digital.

“Kalau ini adalah smart system, dia bisa melakukan pengecekan, verifikasi, bisa menguji. Saat ini sistem digital, tapi masih mengandalkan manual untuk verifikasi. Kami perhatikan sistemnya harus diubah supaya begitu mengisi, hasil komponennya relevan,” kata Anies, Kamis (31/10).

Anies mengaku pihaknya berupaya untuk memperbaiki sistem tersebut agar masalah tidak terulang kepada gubernur selanjutnya, sehingga proses penganggaran bisa berjalan dengan baik dan akuntabel tanpa menimbulkan polemik.

Adapun Basuki Tjahja Purnama (Ahok) sebagai implementator sistem e-budgeting yang direncanakan oleh Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo pada 2013 lalu melalui Peraturan Gubernur Nomor 145 tahun 2013, menilai justru dengan sistem tersebut, keran transparansi anggaran dibuka lebar. Bahkan sistem tersebut bisa berjalan baik, namun bergantung pada niatan Sumber Daya Manusia (SDM)-nya itu sendiri.

“Yang pasti karena e-budgeting semua orang tahu pengeluaran APBD DKI, bisa dapatkan datanya, mulai dari pembelian pulpen, Aibon, hingga UPS (Uninterruptible Power Supply). Sistem itu berjalan baik jika yang input datanya tidak ada niat mark-up apalagi maling. Untuk mencegah korupsi, hanya ada satu kata, yaitu transparansi sistem yang ada,” kata Ahok dalam pesan singkatnya pada wartawan di Jakarta, Kamis (31/10).

Namun, Anies menilai karena dalam sistem e-budgeting tersebut ditemukan kelemahan salah satunya tidak mendeteksi jika ada janggal anggaran. Anies akhirnya berniat memperbaharui sistem tersebut, agar lebih verifikatif dengan melakukan deteksi jika ada kemungkinan anggaran janggal dan lebih interaktif dengan masyarakat.

Tetapi, Anies menampik penilaian bahwa pembaharuan sistem tersebut karena ada polemik anggaran APBD DKI Jakarta. Disebutkannya pembaharuan sistem ini sudah direncanakan sejak lama dan akan diluncurkan pada akhir tahun 2019 untuk kemudian digunakan pada tahun 2020 mendatang.

“Sistemnya bukan saja faktor verifikasi, tapi termasuk faktor security data, partisipasi, faktor pengujian semua informasi. Intinya jika sifatnya repetitive, mekanistik, itu bisa dilakukan pengujiannya oleh sistem. Tapi yang sifatnya judgment itu harus dibangun artificial intelligence ataupun juga dengan menggunakan manusia,” ucapnya, Jumat (1/11).

Mundur
Di tengah pembahasan anggaran DKI dengan kejanggalannya yang mengejutkan, publik kembali dikagetkan dengan kabar mundurnya dua pejabat struktural Pemprov DKI Jakarta yakni Kadisparbud DKI Edy Junaedi (pada tanggal 31 Oktober 2019 malam) dan Kepala Bappeda DKI Mahendra Satria Wirawan (pada tanggal 1 November 2019).

“Bapak ibu sekalian, seperti kita semua ketahui situasi dan kondisi saat ini, yang membutuhkan kinerja Bappeda yang lebih baik lagi, saya mengajukan permohonan untuk mengundurkan diri dengan harapan agar akselerasi Bappeda dapat lebih ditingkatkan,” kata Mahendra saat mengumumkan pengunduran dirinya, Jumat (1/11).

Sementara Edy mengundurkan diri dari jabatan Eselon II nya dan akan menempati pos sebagai staf di Anjungan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Mahendra mundur dari jabatan Eselon II dan akan menempati pos lamanya sebagai Widyaiswara di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) DKI Jakarta.

Meski ada dugaan mundurnya dua pejabat struktural Pemprov DKI Jakarta tersebut terkait anggaran janggal di mana usulan dana lima influencer Rp5 miliar merupakan usulan Disparbud, sementara anggaran-anggaran janggal itu muncul dalam dokumen KUA-PPAS yang disatukan dari Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) di setiap satuan perangkat kerja daerah (SKPD) oleh Bappeda, hal itu ditampik Anies.

Anies menyebut, alasan dua pembantunya mundur adalah karena mengesampingkan kepentingan pribadi dan demi mempercepat kinerja lingkungan Pemprov DKI.

“Tidak, tidak demikian, ini adalah sikap kesatria beliau, saya sangat menghargai beliau yang mementingkan organisasi di atas kepentingan diri sendiri yang ditujukan untuk percepatan kinerja di lingkungan Pemprov DKI Jakarta,” tutur Anies usai mendengar pengunduran diri Mahendra.

Meski dirinya mengetahui mendesaknya batas waktu pembahasan anggaran untuk disepakati dan diserahkan ke Kemendagri, selain menunjuk pelaksana tugas, Anies juga akan segera mencari pengganti dua pejabat tersebut melalui lelang jabatan yang dibuka bagi Aparatur Sipil Negara se-Indonesia.

Tidak ingin kembalinya terulang kesalahan dalam dokumen KUA-PPAS 2020, Anies juga akan memeriksa pegawai yang mengisi anggaran KUA-PPAS 2020 melalui tim ad hoc.

Anies menyebut tim ad hoc itu merujuk pada aturan Pemerintah nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Kemudian saya membuat Keputusan Gubernur nomor 128 tahun 2019, tentang pembentukan tim pemeriksa ad hoc atas dugaan pelanggaran disiplin pegawai negeri sipil.

“Mereka-mereka yang mengerjakannya dengan cara yang seenaknya, asal masuk data akan kami periksa lewat tim ad hoc untuk pemeriksaan pegawai. Lalu kalau ditemukan salah, akan mendapat sanksi sesuai dengan yang pelanggarannya,” ucap Anies.

Bagi anggota Fraksi PSI DPRD DKI William Aditya Sarana, atas kejadian mundurnya dua pejabat struktural DKI Jakarta, seharusnya dijadikan momentum agar Anies juga merubah gaya kepemimpinannya.

“Gubernur harusnya pasang badan melindungi anak buah, itu yang kesatria menurut saya. Karena mereka (ASN) sudah terbiasa dikritisi, dikuliti. Ini harus jadi momentum, ketika ada gempa politik atau kebijakan, jangan menyalahkan sesuatu di luar dirinya seperti sistem, menyalahkan anak buah, menyalahkan gubernur sebelumnya. Kontrol kebijakan ada di gubernur, semua tanggung jawab ada di gubernur,” ucap William.

Publik menantikan bagaimana langkah Pemprov dan DPRD DKI Jakarta untuk bisa menelurkan kesepakatan mengenai anggaran tahun 2020 dengan waktu tersisa dalam hitungan hari, hingga batas waktu 30 November 2019, dengan harapan bisa mengakomodir kegiatan prioritas yaitu banjir, macet dan perumahan.

Pasalnya, jika tidak tepat waktu dalam menyelesaikan pembahasan KUA-PPAS menjadi Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) untuk disampaikan pada Kemendagri, akan ada sanksi administratif berupa belanja yang tidak bisa dilakukan. Imbasnya bukan hanya program prioritas yang terhambat, tapi juga ribuan orang tenaga yang upahnya tergantung dari belanja Pemprov, terancam kehilangan sumber penghidupannya dalam enam bulan sejak awal 2020.