Lapor ke Jokowi, BPK Khawatir Pemerintah Tak Bisa Bayar Utang

 

Liputan6.com, Jakarta – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan ulasan atas pelaksanaan kesinambungan fiskal dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2020 kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jumat (25/6/2021).

Ulasan tersebut termasuk penilaian BPK terhadap tren penambahan utang pemerintah yang jumlahnya semakin membengkak. BPK khawatir pemerintah tidak bisa membayar seluruh utang tersebut.

Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara sehingga memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah membayar utang dan bunga utang,” jelas Ketua BPK Agung Firman Sampurna.

Lebih lanjut, utang pemerintah juga belum memperhitungkan unsur kewajiban pemerintah yang timbul seperti kewajiban pensiun jangka panjang, kewajiban putusan hukum yang inkrah, kewajiban kontigensi dari BUMN dan lainnya.

Indikator kerentanan utang tahun 2020 diketahui melampaui batas rekomendasi International Monetary Fund (IMF) dan atau International Debt Relief (IDR).

“Indikator kesinambungan fiskal tahun 2020 sebesar 4,27 persen melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 – Debt Indicator yaitu di bawah 0 persen,” jelasnya.

Sebelumnya, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna membacakan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II di Istana Negara, Jumat (25/6/2021).

Meskipun LKPP dan IHPS II mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan terkait pengelolaan keuangan negara, terutama menyangkut penanganan program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PCPEN).

Pertama, pemerintah belum menyusun mekanisme pelaporan kebijakan keuangan negara untuk menangani dampak pandemi Covid-19 pada LKPP dalam rangka implementasi Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.

“Lalu, realisasi insentif dan fasilitas perpajakan dalam PCPEN minimal Rp 1,69 triliun tidak sesuai dengan ketentuan,” ujar Agung.

Kemudian pengendalian dan pelaksanaan program belanja PCPEN sebesar Rp 9 triliun pada 10 KL tidak memadai.

Penyaluran belanja subsidi bunga KUR dan non KUR serta belanja lain-lain Kartu Prakerja juga belum memperhatikan kesiapan pelaksanaan program sehingga terdapat sisa dana Rp 6,77 triliun.

Masalah lainnya ialah realisasi pengeluaran pembiayaan tahun 2020 sebesar Rp 28,75 triliun tidak dilakukan secara bertahap sesuai kesiapan dan jadwal kebutuhan penerima akhir investasi.

“Pemerintah belum selesai mengidentifikasi pengembalian belanja atau pembiayaan PCPEN tahun 2020 di tahun 2021 sebagai sisa dana SBN PCPEN tahun 2020 dan kegiatan PCPEN tahun 2020 yang dilanjutkan di 2021,” kata Agung.